Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Social Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya. Tiga buku terakhir nya: (1) 'Membaca Identitas, Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas: Suatu Tinjauan Filsafat dan Psikologi' (Gramedia Pustaka Utama, 2023); (2) 'Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio-Digital' (Zifatama Jawara, 2025), dan (3) 'Kecerdasan Jamak, Keberagaman dan Inklusivitasnya' (Zifatama Jawara: 2025).

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kerja Tanpa Jaminan: Lahirnya Generasi yang Dipaksa Bertahan Saja

13 Oktober 2025   08:10 Diperbarui: 13 Oktober 2025   14:29 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi- Karyawan Gen Z. (Freepik/rawpixel.com)

Kerentanan ini diperparah oleh tekanan ekonomi. Kenaikan upah minimum sering kali gagal mengimbangi laju inflasi, menggerus daya beli secara nyata. Terjepit di antara pendapatan yang stagnan dan biaya hidup yang meroket, anak muda terpaksa memprioritaskan gaji hari ini di atas karier hari esok.

Dalam konteks ini, "melompat" bukanlah pilihan, melainkan pergerakan paksa dari satu kontrak jangka pendek ke kontrak lainnya. Memeluk erat pekerjaan yang ada, sekalipun buruk, menjadi strategi bertahan hidup yang paling rasional.

Tingkat Pengangguran Menurut Kelompok Usia (Sumber: Resume Edy Suhardono)
Tingkat Pengangguran Menurut Kelompok Usia (Sumber: Resume Edy Suhardono)

Tirani Positivitas: Lahirnya Generasi Lelah

Krisis ini tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga merasuk ke dalam jiwa. Filsuf Byung-Chul Han dalam karyanya The Burnout Society berargumen bahwa masyarakat modern telah beralih dari "masyarakat disipliner" yang menekan dengan larangan ("Jangan!") menjadi "masyarakat berprestasi" (achievement society) yang menggoda dengan kemungkinan tak terbatas ("Kamu Bisa!").

Dalam masyarakat ini, individu didorong untuk menjadi "wirausahawan bagi dirinya sendiri" (entrepreneur of the self). Eksploitasi tidak lagi datang dari mandor pabrik, melainkan dari dalam diri sendiri. Kita mengeksploitasi diri atas nama produktivitas, pencapaian, dan optimasi diri, menjadikan diri kita majikan sekaligus budak.

Imperatif "Kamu Bisa" ini menjadi sangat kejam ketika dihadapkan pada realitas pasar kerja prekariat. Anak muda dibombardir dengan narasi bahwa kesuksesan adalah soal kerja keras dan inisiatif pribadi. 

Ketika mereka gagal mendapatkan pekerjaan yang layak karena sebab-sebab struktural, mereka tidak menyalahkan sistem; mereka menyalahkan diri sendiri. Kegagalan ini diinternalisasi sebagai aib pribadi: "Saya kurang berusaha," "Saya kurang kompeten." Kebebasan yang ditawarkan neoliberalisme menjadi kebebasan untuk berlari di atas treadmill hingga ambruk.

Konsekuensi logis dari eksploitasi diri tanpa henti ini adalah burnout atau kelelahan total. Depresi, kecemasan, dan burnout bukanlah lagi tanda kelemahan individu, melainkan patologi dari masyarakat berprestasi yang sakit. 

Fenomena job hugging adalah manifestasi dari kelelahan mendalam ini. Setelah lelah bertarung dalam arena kerja yang brutal, seorang anak muda tidak lagi memiliki energi psikologis untuk mengambil risiko kembali ke pasar.

Memeluk pekerjaan yang ada---memeluk kaktus---menjadi cara putus asa untuk berhenti berlari, bahkan jika itu berarti terkurung dalam rasa sakit dan stagnasi. Nasihat umum untuk "meningkatkan keterampilan" (upskilling) pun menjadi kekerasan psikologis tersendiri, karena menimpakan seluruh beban kegagalan sistemik ke pundak individu yang sudah kelelahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun