Mohon tunggu...
vinadwi putrii04
vinadwi putrii04 Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Pamulang PSDKU Serang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revansi Presidensialisme Multi Partai di Indonesia

13 Oktober 2025   23:27 Diperbarui: 13 Oktober 2025   23:31 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi(Medcom) Sumber: mediaindonesia.com

   Sejak reformasi 1998, Indonesia memilih sistem presidensial sebagai bentuk pemerintahan yang dinilai paling tepat untuk menjaga stabilitas politik. Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan memiliki masa jabatan tetap. Secara teori, sistem ini dirancang agar cabang eksekutif dan legislatif beroperasi secara terpisah, saling mengawasi, dan mencegah penguasaan kekuasaan oleh satu partai. Namun, dalam praktiknya, sistem presidensial di Indonesia berlangsung dalam konteks politik yang berbeda, yaitu sistem multi-partai yang sangat beragam.

   Gabungan antara presidensialisme dan sistem multi-partai menciptakan fenomena yang dikenal sebagai 'revansi presidensial multi partai', sebuah bentuk ketegangan politik dan kompromi di mana presiden harus terus-menerus bernegosiasi dengan banyak partai untuk menjaga kelangsungan pemerintahannya. Sebagai seorang mahasiswa Ilmu Pemerintahan, saya melihat situasi ini sebagai sebuah paradoks demokrasi Indonesia: di satu sisi, mencerminkan perwakilan politik yang luas, tetapi di sisi lain, menimbulkan ketidakstabilan dan melemahkan akuntabilitas.
Dalam sistem presidensial yang murni, presiden seharusnya tidak perlu bergantung pada dukungan mayoritas di parlemen untuk tetap berkuasa. Namun, kenyataan politik di Indonesia menunjukkan hal sebaliknya. Presiden hampir selalu membangun koalisi besar lintas partai untuk mengamankan dukungan politik di Dewan Perwakilan Rakyat. Koalisi ini dianggap penting untuk memperlancar agenda pemerintah, terutama dalam hal persetujuan anggaran dan kebijakan strategis nasional.

  Sayangnya, praktik koalisi besar seringkali mengarah pada politik akomodasi kekuasaan. Banyak partai bergabung bukan karena ideologi yang sama atau visi nasional, melainkan untuk mendapatkan akses ke posisi menteri, posisi strategis, atau sumber daya ekonomi. Akibatnya, oposisi menjadi sangat lemah. Parlemen, yang seharusnya berfungsi sebagai badan pengawas, kehilangan kekuatan kritisnya karena sebagian besar partai telah menjadi bagian dari pemerintah.

   Dalam keadaan seperti ini, sistem presidensial yang seharusnya kuat terperangkap dalam ketergantungan pada kekuatan partai. Presiden kehilangan kebebasan untuk membuat keputusan kebijakan secara mandiri karena harus mempertimbangkan kepentingan koalisi.

   Fenomena ini menimbulkan apa yang saya sebut sebagai stabilitas semu, pemerintah terlihat stabil karena sedikitnya konflik politik yang terbuka, tetapi sebenarnya sangat rapuh karena didasarkan pada kompromi pragmatis.

   Sebagai seorang mahasiswa yang mempelajari sistem pemerintahan, saya memahami bahwa demokrasi memerlukan kompromi. Namun, ketika kompromi berubah menjadi transaksi, nilai-nilai demokratis menjadi terdegradasi. Sistem presidensial multi-partai di Indonesia seringkali berubah menjadi arena tawar-menawar politik yang sengit. Jabatan publik menjadi alat tawar, yang tidak didasarkan pada kompetensi atau profesionalisme, tetapi pada kesetiaan kepada partai koalisi.

   Dampak dari praktik ini sangat nyata. Pertama, kualitas kebijakan publik menurun karena banyak keputusan yang diambil berdasarkan kepentingan politik jangka pendek. Kedua, penerapan prinsip tata kelola yang baik menjadi sulit dilakukan karena proses politik dipenuhi dengan negosiasi tertutup dan pertukaran kepentingan yang tidak transparan. Ketiga, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah menurun karena rakyat merasa bahwa aspirasi mereka tidak lagi menjadi prioritas utama.

   Sebagai mahasiswa ilmu pemerintahan, saya meyakini bahwa situasi ini bukan sekadar masalah politik teknis, melainkan sebuah permasalahan institusional yang mendasar. Regenerasi partai yang lemah, disiplin ideologis yang rendah, dan budaya patronase politik telah menciptakan struktur politik yang sulit untuk dikendalikan melalui mekanisme demokrasi formal. Sebagai hasilnya, sistem presidensial kita tetap menghadapi tekanan akibat perpecahan politik yang tidak produktif.

   Untuk memperkuat sistem presidensial di tengah realitas sistem multi partai, Indonesia memerlukan langkah-langkah reformasi yang lebih tegas. Pertama, sistem partai perlu direorganisasi dengan serius. Jumlah partai yang berlebihan menyebabkan proses politik menjadi tidak efisien. Ambang batas parlemen harus dinaikkan secara bertahap agar hanya partai-partai yang memiliki basis dukungan yang kuat yang dapat memasuki Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, sistem koalisi akan menjadi lebih sederhana dan stabilitas politik akan lebih mudah dipertahankan tanpa mengorbankan fungsi oposisi.

   Kedua, lembaga-lembaga oposisi perlu diperkuat. Demokrasi tidak dapat berkembang tanpa adanya oposisi yang kritis dan membangun. Oposisi bukanlah musuh pemerintah, melainkan mitra dalam menjaga keseimbangan kekuasaan. Pemerintah yang tidak memiliki oposisi berisiko tinggi untuk melakukan kesalahan tanpa adanya perbaikan. Oleh karena itu, regulasi politik harus memberikan ruang dan insentif bagi partai-partai yang memilih untuk tidak bergabung dengan pemerintahan, misalnya melalui akses terhadap informasi kebijakan, alokasi anggaran pengawasan, atau ruang publik yang lebih luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun