Lihat ke Halaman Asli

Psikologi, Dukun dan Tanggung Jawab

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya seringkali merasa geli, ketika ada orang yang bertanya mengenai jurusan saya, lalu saya menjawabnya “psikologi”. Mereka kemudian justru merespon “ehm, bisa baca saya ya berarti”, atau “eh, saya orangnya kayak gimana?” dan lebih parah lagi “wah bisa ngeramal dong!”. Ini sama artinya dengan menyamakan psikolog dengan dukun.

Tapi bagaimana dengan psikologi? Bagaimana psikologi dapat mengatasi permasalahan manusia? Hanya melihat seseorang kemudian dilakukan penilaian dan diberikan judgment dengan sedemikian rupa... Bagaimana psikologi bisa dikatakan ilmiah dengan penampilan yang tidak meyakinkan itu? Lalu apa bedanya dengan dukun kalau psikologi tidak mampu menjawab tersebut.

Benar-benar menggelikan jawaban mereka tadi, tetapi justru membuat beban tersendiri bagi saya. Di mana saya harus benar-benar mampu mengatasi pertanyaan-pertanyaan dan permasalahan-permasalah yang berhubungan dengan manusia, dan pada akhirnya mampu membaca dan memahami situasi secara tepat serta mampu memahami orang lain. Tentunya dengan prosedur yang sistematis sehingga bisa dipercaya. Karena ini merupakan tanggung jawab seorang psikolog dan juga ilmuwan psikologi.

Namun hal-hal di atas tidak akan mampu terpecahkan oleh pengetahuan semata, perlu adanya jawaban yang lebih meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena hal-hal yang tidak bisa diuji dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah sulit dipercaya pada masa ini. Untuk itulah dilakukan perolehan informasi dan pemecahan masalah melalui penelitian-penelitian.

Semakin lama psikologi semakin berkembang dan kini mulai menampakkan kemajuaannya. Saat ini psikologi hadir sebagai ilmu yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Karena metode-metode yang digunakan menggunakan prosedur yang sesuai. Banyaknya penelitian-penelitian yang terangkum dalam jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku, dan lain sebagainya merupakan salah satu indicator psikologi dikatakan semakin berkembang.

Pencapaian tersebut bermula dari penelitian-penelitian psikologi terdahulu yang pada dasarnya menggunakan pendekatan kuantitatif-positivistik. Dan harus diakui bahwa penelitian-penelitian positivistik-eksperimental memang memberikan warna terbesar dalam perkembangan psikologi sampai saat ini (Poerwandari, 1998). Tampaknya akan sulit untuk menjalankan peran positif bagi pengembangan kehidupan masyarakat secara optimal jika penelitiannya hanya dibatasi dengan metode-metode tertentu saja. Sehingga kemudian psikologi mulai mengenal pendekatan baru yakni pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif mencoba menerjemahkan pandangan-pandangan dasar interpretative dan fenomenologis (Poerwandari, 1998). Berikut pandangan mendasar tersebut, dikemukakan oleh Sarantakos (1993) :

1)Realitas social adalah sesuatu yang subjektif dan diinterpretasikan, bukan sesuatu yang berada di luar individu-individu

2)Manusia tidak secara sederhana mengikuti hukum-hukum alam di luar diri, melainkan menciptakan rangkaian makna dalam menjalani kehidupannya

3)Ilmu didasarkan pada pengetahuan sehari-hari, bersifat induktif, idiografis dan tidak bebas nilai

4)Penelitian bertujuan untuk memahami kehidupan social.

Begitulah paradigma kualitatif mewarnai kehidupan psikologi, berdampingan dengan paradigma kuantitatif yang lebih dahulu dikenalnya. Sangatlah panjang jika hal ini dibahas pada kesempatan ini. Yang terpenting adalah kesimpulan bahwa psikologi berbeda dengan dukun. Demikian sudah dijelaskan secara gamblang mengenai psikologi sebagai ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan, masihkah disamakan dengan dukun yang belum mampu mempertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline