Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Ketika Musik Bicara Ekosistem, Bukan Sekadar Irama

13 Oktober 2025   18:35 Diperbarui: 13 Oktober 2025   18:35 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Pingkan/detikcom

Ketika Musik Bicara Ekosistem, Bukan Sekadar Irama
“Musik adalah bahasa universal, tapi ekosistemlah yang menjadikannya berdaulat.”

Oleh Karnita

Menuju Nada Dasar yang Berkeadilan

Bisakah musik menjadi cermin kemajuan bangsa? Pertanyaan itu menggema ketika Konferensi Musik Indonesia (KMI) 2025 berlangsung di Jakarta pada 8–11 Oktober 2025. Dalam perhelatan tersebut dibahas isu royalti, pendidikan, dan teknologi menjadi nada dasar dalam diskusi panjang tentang masa depan industri musik Indonesia.

Di tengah euforia digital dan maraknya platform streaming, ekosistem musik nasional ternyata masih timpang. Para musisi berjuang bukan hanya untuk didengar, tetapi juga untuk dihargai secara layak. Di sinilah KMI menjadi relevan—bukan sekadar pertemuan seremonial, melainkan panggung untuk memperjuangkan keseimbangan antara kreativitas, keadilan, dan keberlanjutan.

Sebagai penulis yang tumbuh dalam suasana di mana musik menjadi ruang ekspresi sekaligus kritik sosial, saya melihat KMI 2025 bukan sekadar konferensi tahunan. Ia adalah refleksi kegelisahan lama: bagaimana karya seni bertahan di tengah sistem yang belum matang. Dari isu royalti hingga peran pemerintah daerah, seluruhnya menggambarkan satu kenyataan—bahwa musik Indonesia membutuhkan fondasi ekosistem yang berdaulat.

1. Royalti: Nada yang Masih Sumbang

Masalah royalti telah lama menjadi “nada sumbang” dalam harmoni industri musik nasional. Pongki Barata menyoroti kerumitan distribusi data royalti, pencatatan log sheet, hingga minimnya kepercayaan terhadap Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Dalam praktiknya, banyak karya yang mengudara di berbagai platform tanpa laporan pemutaran yang akurat, sehingga musisi sering kali tak menerima hak ekonominya.

Permasalahan ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga budaya keadilan. Banyak pengguna lagu belum memahami bahwa setiap pemutaran karya mengandung hak moral dan finansial bagi pencipta. Maka, kesadaran publik menjadi langkah awal untuk memperbaiki rantai distribusi yang selama ini timpang.

Keadilan royalti adalah bentuk penghormatan terhadap kerja intelektual dan emosional seniman. Ketika hak itu diabaikan, musik kehilangan martabatnya sebagai karya budaya. Karena itu, sistem digital yang transparan seperti yang disiapkan LMKN.id perlu diiringi edukasi publik dan penegakan hukum yang konsisten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun