Lihat ke Halaman Asli

Subarkah

Freelance

Berhaji Bukan Sekadar Pergi ke Tanah Suci

Diperbarui: 17 Mei 2025   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Malam itu sunyi. Angin menyapa pelan lewat celah jendela. Langit bersih. Bulan menggantung penuh. Bintang bertabur rapi seperti sedang menunggu cerita. Di tengah keheningan itu, saya duduk sendiri, memikirkan satu hal: mengapa orang berhaji?

Pertanyaan itu terdengar sederhana. Tapi semakin dipikirkan, jawabannya tidak pernah sesederhana niat dan keberangkatan. Banyak orang bercita-cita naik haji. Banyak pula yang akhirnya berangkat. Namun, berapa banyak yang benar-benar kembali?

Bukan kembali secara fisik. Tapi kembali sebagai manusia yang berubah. Yang mengerti bahwa haji bukan semata tentang menunaikan rukun Islam, bukan pula soal gelar yang disematkan setelah pulang. Berhaji, sejatinya, adalah jalan sunyi menuju dalam diri---menanggalkan ego, melepaskan kelebihan, dan menjadi setara, benar-benar setara, dengan sesama manusia.

Karena haji, pada hakikatnya, bukan panggung pengakuan. Ia adalah panggilan jiwa.

Ibadah haji memang diperuntukkan bagi yang mampu. Mampu secara harta, iya. Tapi lebih dari itu---mampu menunaikan amanah keluarga yang ditinggalkan, mampu menanggalkan keangkuhan, dan mampu memandang hidup tanpa kaca pembesar status atau kasta.

Ada orang kaya yang pergi haji setiap tahun, namun enggan menyapa tetangganya. Tapi ada pula orang yang belum pernah ke tanah suci, namun selalu hadir pertama saat orang sekitar butuh bantuan.

Saya teringat Pak Harun, seorang tukang tambal ban di kampung. Ia belum pernah berhaji. Tapi setiap Idul Adha, ia membawa seekor kambing kecil hasil tabungannya untuk dikurbankan di masjid. Tak banyak bicara, tak pernah menuntut balasan. Tapi namanya selalu disebut ketika ada yang membutuhkan.

Pak Harun tak menyandang gelar apa pun. Namun hidupnya menjelaskan apa arti ibadah yang sebenarnya. Diam-diam, ia membuat orang lain merasa didekati oleh Tuhan.

Saya tidak sedang menyepelekan haji. Justru sebaliknya, saya ingin memuliakannya kembali. Mengembalikannya ke tanah yang seharusnya: tanah yang lapang, tanah yang setara. Tempat semua manusia berjalan bersama, bukan berlomba menonjolkan keberbedaan. Tempat di mana Tuhan dilihat bukan sebagai tujuan prestise, melainkan pusat kesetaraan.

Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Bukan hanya semboyan adat, tapi juga ruh haji. Di padang Arafah, semua mengenakan kain putih sederhana. Dua lembar. Tanpa jahitan, tanpa nama. Semua menyatu sebagai hamba, tak peduli warna kulit, bahasa, atau asal negara.

Itu bukan sekadar simbol. Itu pelajaran nyata: ketika kita berdiri di hadapan Tuhan, tidak ada gelar, jabatan, atau saldo bank yang dibawa. Hanya jiwa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline