Literasi Bukan Hanya Milik Rakyat
Beberapa tahun terakhir, kata literasi begitu sering digaungkan. Dari kampanye “Gerakan Literasi Sekolah” hingga imbauan pemerintah daerah agar masyarakat rajin membaca, literasi menjadi jargon indah yang terdengar di hampir semua ruang publik. Namun, ada satu pertanyaan penting yang sering luput diajukan: apakah para pejabat yang menyerukan literasi itu sendiri sudah gemar membaca buku?
Ironis rasanya jika rakyat terus didorong membaca, sementara para pejabat justru jarang menyentuh buku. Padahal, mereka lah yang paling membutuhkan literasi mendalam, sebab setiap ucapan, kebijakan, dan keputusan mereka akan berdampak langsung pada masyarakat luas.
Seorang pejabat yang kurang gemar membaca akan terlihat kering wawasan, gagap menghadapi isu, bahkan bisa terpeleset dalam pernyataan publik yang menyakitkan hati rakyat.
Mengapa Pejabat Harus Gemar Membaca?
Membaca bukan sekadar kegiatan hobi yang bisa dilakukan atau tidak. Bagi pejabat, membaca adalah kebutuhan. Ada beberapa alasan utama mengapa pejabat mau tidak mau harus gemar membaca buku:
- Wawasan yang Luas
Buku menawarkan perspektif yang lebih mendalam dibanding sekadar berita singkat atau laporan teknis. Dengan membaca, pejabat bisa memahami akar masalah, sejarah panjang suatu persoalan, serta alternatif solusi yang pernah dicoba di tempat lain. - Empati dalam Berbicara
Orang yang rajin membaca, terutama karya sastra dan biografi, biasanya lebih peka pada perasaan orang lain. Seorang pejabat dengan wawasan literasi tidak akan sembarangan mengeluarkan pernyataan yang merendahkan atau menyakiti hati rakyat. - Kekuatan Public Speaking
Public speaking yang baik tidak lahir dari training singkat semata. Ia berakar dari wawasan yang kaya. Pejabat yang rajin membaca akan lebih mudah menyusun argumen, mengutip referensi yang tepat, dan mengomunikasikan kebijakan dengan bahasa yang elegan dan bisa dipahami semua kalangan. - Membangun Kredibilitas
Rakyat bisa menilai apakah pejabatnya hanya pandai bicara atau benar-benar berwawasan. Seorang pemimpin yang terlihat akrab dengan buku, yang dalam pidatonya menyelipkan kutipan-kutipan bermakna, akan lebih dihormati dan dipercaya.
Ironi: Literasi Hanya untuk Rakyat?
Sayangnya, fenomena yang terjadi sering sebaliknya. Banyak pejabat masih menganggap literasi hanya program untuk masyarakat, bukan kebutuhan pribadi. Kita kerap mendengar pernyataan asal ceplos dari pejabat yang kemudian viral dan menuai kritik. Mulai dari ucapan yang meremehkan profesi tertentu, menyalahkan korban dalam kasus sosial, hingga pernyataan yang terkesan menertawakan penderitaan rakyat.
Apakah semua ini murni karena kurang hati-hati? Tidak sepenuhnya. Di balik itu, ada celah literasi: mereka tidak terbiasa menyerap wawasan, memahami konteks, dan meresapi nilai-nilai dari bacaan. Padahal, pejabat yang gemar membaca akan lebih berhati-hati dalam memilih diksi, karena mereka tahu kata-kata bisa membangun sekaligus menghancurkan.
Contoh Positif: Prabowo dan Kekuatan Literasi
Di tengah banyaknya ironi, ada juga sosok inspiratif yang bisa dijadikan teladan. Presiden Prabowo, misalnya, dikenal sebagai pribadi yang gemar membaca. Dalam berbagai kesempatan, ia menyebutkan buku-buku yang dibacanya, baik tentang sejarah, strategi militer, hingga sastra.
Kegemarannya membaca tampak jelas dalam gaya public speaking-nya. Ia tidak sekadar menyampaikan angka atau slogan, tetapi mampu merangkai cerita, menghubungkan pengalaman pribadi dengan wacana global, dan menyampaikan kebijakan dengan narasi yang menyentuh hati. Inilah kekuatan literasi yang nyata: membaca menjadikan seorang pejabat lebih utuh sebagai manusia sekaligus pemimpin.
Literasi adalah Tanggung Jawab Moral Pejabat
Melek literasi bagi pejabat tidak boleh berhenti pada wacana. Pejabat harus menjadikan membaca buku sebagai bagian dari tanggung jawab moral. Sama seperti dokter yang wajib terus belajar demi pasiennya, pejabat juga wajib membaca demi rakyat yang dipimpinnya.
Buku yang dibaca tidak harus selalu ilmiah. Bisa berupa novel untuk melatih empati, biografi untuk memahami perjalanan hidup tokoh, atau buku ekonomi-politik untuk memperkaya analisis kebijakan. Yang penting adalah konsistensi: menjadikan membaca sebagai rutinitas, bukan aktivitas musiman.
Lebih jauh lagi, pejabat yang gemar membaca bisa menjadi role model. Bayangkan seorang bupati yang rutin mengunggah rekomendasi buku bulanan, atau seorang menteri yang mengutip novel lokal dalam pidatonya. Itu akan memberi sinyal kuat bahwa literasi bukan sekadar kampanye kosong, melainkan gaya hidup seorang pemimpin.
Dari Literasi Menuju Etika Publik
Membaca buku tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga menumbuhkan etika. Kata-kata yang lahir dari pejabat yang literat biasanya lebih lembut, bijaksana, dan terukur. Mereka sadar betul bahwa kalimat yang keluar dari mulut pejabat bisa membangun kepercayaan, tetapi juga bisa melukai hati masyarakat.
Seorang pejabat yang literat akan berbicara dengan penuh pertimbangan: apakah kalimat ini menyinggung pihak tertentu? Apakah pernyataan ini bisa dimaknai ganda? Apakah ucapannya memberi harapan atau justru menambah beban rakyat? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya muncul bila pejabat terbiasa membaca, merenung, dan menyelami makna.
Bangsa Literat Lahir dari Pemimpin Literat
Akhirnya, kita perlu menegaskan kembali: bangsa yang literat hanya bisa lahir dari pemimpin yang literat. Masyarakat bisa terus didorong membaca, tetapi semua itu akan terasa hampa bila pejabatnya sendiri tidak pernah membuka buku.
Pejabat tidak cukup hanya melek teknologi, melek politik, atau melek ekonomi. Mereka juga harus melek literasi, dan itu berarti mau tidak mau harus gemar membaca buku. Karena lewat membaca, pejabat bisa berbicara dengan bijak, memimpin dengan hati, dan memberi teladan nyata bagi rakyatnya.