Di negeri yang gemerlap oleh baliho pencitraan dan konferensi pers, kita sedang hidup dalam masa di mana kata "kemajuan" begitu sering diucapkan, tapi hanya terasa sebagai gema kosong di telinga mereka yang hidup di pinggiran kenyataan. Pemerintah bicara tentang masa depan digital, investasi luar negeri, dan jargon-jargon megah yang dipoles untuk tayangan televisi. Namun di warung kopi, di kampung, di ruang-ruang kontrakan, obrolan rakyat masih berkisar tentang harga beras, biaya sekolah, dan rasa muak melihat pejabat tertawa di acara seremonial sementara mereka sendiri tak pernah tahu rasanya antre minyak goreng di subuh hari.
Yang mengganggu bukan hanya kebijakan yang tak menyentuh rakyat, tapi cara pemerintah menyikapi keresahan. Kritik tidak lagi dianggap sebagai alarm kewarasan, melainkan ancaman yang harus segera diredam. Padahal, kita mengkritik bukan karena benci, tapi justru karena mencintai negeri ini tanpa pamrih, tanpa gaji, dan tanpa kamera media. Kita marah karena kita peduli sementara mereka yang duduk di kursi empuk kekuasaan sering tampil seolah merekalah satu-satunya yang mencintai negara.
Hari ini, diam menjadi budaya baru yang dipaksakan. Rakyat dididik untuk menerima keadaan, bukan mempertanyakannya. Anak muda diajari untuk "realistis", bukan kritis. Mereka lupa bahwa bangsa ini lahir dari pemberontakan terhadap ketidakadilan, bukan dari sikap manut dan tunduk. Kita sering mendengar pejabat berkata, "Jangan terlalu sering mengeluh, negara ini sudah berusaha." Tapi siapa yang berusaha? Rakyat atau para pejabat yang sibuk berdebat soal anggaran perjalanan dinas?
Ada jarak panjang antara realitas dan narasi resmi negara. Di televisi, semuanya terlihat tertib, penuh senyum, dan dikemas rapi seperti iklan obat sakit kepala. Tapi keluar dari layar kaca, kita bisa melihat luka yang tak pernah benar-benar dirawat petani yang diusir atas nama proyek nasional, mahasiswa yang ditembak gas air mata tapi dituduh perusuh, rakyat kecil yang divonis bersalah lebih cepat daripada koruptor yang pulang dari pengadilan sambil melambaikan tangan.
Dan lucunya, setiap kali rakyat bersuara, jawabannya hampir selalu sama " Jangan buat gaduh! Jangan rusak stabilitas!" Seolah stabilitas adalah menahan emosi, bukan memperbaiki kondisi. Seolah kritik adalah penyebab kekacauan, bukan akibat dari kekacauan yang diciptakan oleh kebijakan yang timpang.
Mungkin inilah yang paling menyesakkan negara lebih takut pada poster karton yang diangkat mahasiswa di jalan daripada pada fakta bahwa ribuan orang kehilangan pekerjaan. Pemerintah lebih cepat mengirim aparat untuk menghalau demonstrasi daripada mengirim solusi yang nyata ke meja makan rakyat.
Tapi harus diingat generasi ini tidak lahir untuk menjadi penonton. Kita bukan generasi yang puas hanya dengan ucapan belas kasihan di podium. Kalau bicara tentang cinta tanah air, maka biarkan kami mencintainya dengan cara kami dengan bertanya, dengan menggugat, dengan tidak rela melihat negeri ini dikelola seperti perusahaan keluarga.
Karena suatu saat nanti, sejarah tidak akan menulis siapa yang paling sering bicara di depan kamera. Sejarah hanya akan mencatat, siapa yang masih berani berkata "Ada yang salah, dan aku menolak untuk diam."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI