Diakui atau tidak, era globalisasi dan teknologi digital yang semakin berkembang, dunia menghadapi berbagai tantangan baru dalam bidang kesehatan, keamanan, dan pertahanan.Â
Salah satu ancaman yang semakin nyata dan perlu mendapatkan perhatian serius adalah bioterorisme.Â
Meskipun istilah ini mungkin terdengar seperti plot film fiksi ilmiah, kenyataannya, bioterorisme adalah bentuk ancaman serius yang dapat menyerang secara diam-diam dan merusak stabilitas nasional serta global.
Bioterorisme merupakan penggunaan mikroorganisme patogen atau produk berbahaya dari mikroorganisme, seperti racun biologis, sebagai senjata untuk menyebarkan penyakit atau kematian kepada manusia, hewan, maupun tumbuhan.Â
Ancaman ini semakin relevan dengan meningkatnya kasus zoonosis, yaitu penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia, yang dapat menjadi pintu masuk bagi pelaku bioterorisme menyebarkan agen biologis secara tersembunyi.
Zoonosis dan Kemungkinan Bioterorisme
Kasus zoonosis seperti wabah flu burung (H5N1), rabies, antraks, hingga pandemi COVID-19 yang diduga berasal dari hewan, menunjukkan betapa rapuhnya sistem pertahanan kesehatan masyarakat terhadap ancaman biologis.Â
Meski sebagian besar kasus zoonosis terjadi secara alami, tidak menutup kemungkinan bahwa penyebaran beberapa penyakit ini dimanipulasi atau dimanfaatkan oleh aktor jahat sebagai bagian dari bioterorisme.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa lebih dari 60% penyakit menular pada manusia berasal dari hewan, dan dari jumlah tersebut, sekitar 75% adalah penyakit infeksi baru atau emerging infectious diseases (EID).Â
Hal ini menciptakan celah besar dalam keamanan biologis, yang bisa saja dimanfaatkan untuk kepentingan destruktif.
Upaya Pengawasan oleh Badan Karantina Indonesia
Menanggapi ancaman ini, apresiasi patut kita berikan kepada Badan Karantina Indonesia (Barantin). Barantin memperkuat pengawasan terhadap perdagangan hewan, tumbuhan, dan ikan, khususnya yang dilakukan secara daring.Â