Lihat ke Halaman Asli

Sellyna Putri Sabila

Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah di Unniversitas Negeri Semarang

Menyibak Takdir Gudang Rempah: Museum Bahari Sebagai Wadah Memori Sejarah Maritim

Diperbarui: 17 Juni 2025   14:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Gambar 1. Halaman depan Museum Bahari dari lt. 2 Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Oleh: Sellyna Putri Sabila & Nugraha Bagas Bahtiar
Editor: Eka Yudha Wibowo, M.A. 

Bangunan yang kini dikenal sebagai Museum Bahari pada awalnya tidak difungsikan sebagai ruang pameran sejarah. Sebelum menjadi pusat logistik VOC, lokasi strategis di Pelabuhan Sunda Kelapa telah menjadi simpul vital niaga maritim sejak era Kerajaan Sunda (abad ke-12) hingga Kesultanan Banten (abad ke-16), tempat perahu-perahu Nusantara bersandar membawa rempah dan hasil bumi. Memasuki periode kolonial, kawasan ini mengalami transformasi menjadi kompleks gudang penyimpanan rempah-rempah milik Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), mencerminkan posisi Batavia sebagai pusat perdagangan internasional dalam jaringan dagang global. Komoditas bernilai tinggi seperti cengkih, pala, dan lada disimpan di tempat ini sebelum dikirim ke pasar Eropa.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, bangunan ini mengalami masa keterlantaran dan perlahan mengalami degradasi fisik. Pemerintah Indonesia tahun 1977 kemudian melakukan restorasi yang bersifat visioner, mengonversi situs historis ini menjadi Museum Bahari, sebuah institusi yang mengemban fungsi edukatif sekaligus pelestarian nilai-nilai sejarah maritim nasional. Fungsi awal bangunan ini tidak dapat dilepaskan dari kekayaan alam Nusantara serta posisinya yang strategis dalam jalur perdagangan laut. Lebih dari sekadar sarana transportasi, laut di Nusantara merupakan medium interaksi budaya, pertukaran pengetahuan, dan penghubung antar wilayah kepulauan. Hal ini tercermin dalam kemunculan dan kejayaan kerajaan-kerajaan bahari seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Gowa-Tallo, yang membentuk fondasi peradaban maritim yang tangguh dan berpengaruh. Kini, seluruh rangkaian sejarah tersebut terakomodasi dalam narasi yang dihadirkan Museum Bahari. Bangunan ini tidak sekedar menjadi tempat penyimpanan artefak, tetapi juga berfungsi sebagai ruang refleksi atas perjalanan panjang bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim. Selanjutnya, untuk menguak lebih dalam saya melakukan perjalanan ke Museum Bahari.

Pada pagi hari ketika cahaya fajar mulai menyinari cakrawala, saya memulai perjalanan dari pusat kota Jakarta menuju Museum Bahari. Cuaca yang cerah serta kondisi lalu lintas yang relatif lancar memberikan kesempatan untuk merenungi dinamika kota sambil menyusuri jejak historis yang tersembunyi di antara lanskap urban. Perjalanan ini tidak semata-mata merupakan aktivitas rekreatif, melainkan sebuah upaya penelusuran memori kolektif yang terpatri dalam arsitektur bangunan bersejarah. Sepanjang rute perjalanan, nuansa kota bertransisi, gedung-gedung modern pencakar langit dan papan iklan yang mendominasi wajah metropolitan mulai tergantikan oleh jajaran bangunan kolonial yang menyiratkan atmosfer masa lampau. Pergeseran visual ini seakan mengantar saya ke dalam ruang temporal berbeda, di mana ritme kehidupan terasa melambat dan dimensi historis kota menjadi lebih kentara. Semakin mendekati lokasi tujuan, hembusan angin laut yang membawa aroma asin nan khas mulai terasa, menghadirkan sensasi yang seolah membangkitkan kembali memori akan masa ketika kawasan ini berperan sebagai salah satu pusat perdagangan maritim utama di Nusantara. Paparan sinar matahari yang menyengat kontras dengan langit yang bersih dan membiru, menciptakan lanskap visual yang dramatis dan memperkuat kesan historis lingkungan sekitar.

Museum Bahari ini terletak di kawasan Kota Tua Jakarta, tepatnya di Jalan Pasar Ikan, tidak jauh dari Pelabuhan Sunda Kelapa yang historis. Museum ini berdiri kokoh di pelabuhan tua Jakarta, menghadap langsung ke laut yang menegaskan peran strategisnya dalam perdagangan maritim Nusantara. Posisinya yang strategis, memberikan pandangan jelas mengenai perannya dalam garis waktu sejarah perjalanan maritim Nusantara. Struktur dinding batu yang tebal, atap tinggi, serta jendela besar khas arsitektur kolonial Belanda menghadirkan nuansa temporal yang kuat, seolah membawa pengunjung melintasi lintasan waktu. Dinding kapur dan bata yang kokoh menopang bangunan ini selama berabad-abad, sementara penggunaan material lokal seperti kayu ulin dari Kalimantan dan kayu jati dari Ngandjoek menunjukkan perpaduan antara teknologi konstruksi Eropa dan sumber daya Nusantara. Elemen-elemen seperti pintu dan jendela asli yang masih terpelihara menjadi bukti nyata ketahanan serta kualitas material dan konstruksi masa lampau.

Di ruang interior Museum Bahari, pengunjung disuguhi beragam koleksi yang merepresentasikan kekayaan tradisi maritim Nusantara. Tersimpan dengan apik adalah replika berbagai jenis perahu tradisional dari berbagai wilayah kepulauan Indonesia, antara lain perahu Pinisi dari suku Bugis, Jukung dari Bali, Kora-kora dari Maluku, hingga perahu Cadik dari Papua. Koleksi ini tidak hanya menunjukkan keragaman bentuk dan teknologi pelayaran lokal, tetapi juga mencerminkan adaptasi masyarakat pesisir terhadap kondisi geografis dan kebutuhan sosial-ekonomi masing-masing daerah. Selain perahu, museum ini juga memamerkan peralatan navigasi kuno yang digunakan oleh para pelaut dan nelayan masa lampau, seperti kompas, astrolab, serta teropong laut. Alat-alat tersebut merefleksikan pengetahuan astronomi dan teknik navigasi yang telah berkembang jauh sebelum era modern. Koleksi lain yang signifikan adalah peta-peta maritim hasil rekonstruksi historis, yang menggambarkan rute pelayaran baik domestik maupun lintas-benua, termasuk jalur pelayaran yang dilalui oleh bangsa-bangsa Eropa seperti Belanda dan Portugis dalam jaringan perdagangan global. Sebagai pelengkap narasi visual, diorama Pelabuhan Sunda Kelapa pada masa kejayaannya menjadi salah satu titik atraktif yang memperkaya pengalaman pengunjung. Melalui representasi aktivitas pelabuhan seperti kapal-kapal yang bersandar, proses bongkar muat rempah-rempah, serta interaksi antara penduduk lokal dan pedagang asing. Diorama ini menghadirkan gambaran komprehensif tentang pelabuhan sebagai ruang kontak budaya sekaligus simpul ekonomi strategis dalam sejarah maritim Indonesia.

(Gambar 2. Perahu Cadik Papua Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Dari sekian banyak artefak maritim yang dipamerkan di Museum Bahari Jakarta, salah satu yang paling mencolok secara visual maupun konseptual adalah Perahu Cadik khas Papua. Kapal tradisional ini merepresentasikan kecerdasan ekologis masyarakat pesisir Papua dalam merespons tantangan geografis dan kondisi alam perairan timur Indonesia yang dikenal ganas. Dengan desain ramping dan struktur dinamis, Perahu Cadik menampilkan konfigurasi teknologis yang unik dan berbeda dibandingkan jenis perahu tradisional dari wilayah lain di Nusantara. Keistimewaan utamanya terletak pada cadik yang berfungsi sebagai penyeimbang lateral berbahan bambu atau kayu yang dipasang di sisi lambung kapal. Elemen ini memungkinkan perahu menjaga stabilitas saat berlayar menghadapi gelombang tinggi dan arus deras. Selain nilai fungsionalnya yang tinggi, perahu ini juga memancarkan aspek estetis: ornamen burung yang menghiasi badan perahu mencerminkan relasi kosmologis antara manusia dan alam dalam kebudayaan Papua. Simbol-simbol ini menunjukkan bahwa teknologi lokal tidak sekadar utilitarian, tetapi juga mengandung makna kultural yang mendalam.

Perahu Cadik Papua digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari aktivitas penangkapan ikan, pengangkutan hasil laut, hingga mobilitas antarpulau. Hal ini menunjukkan tingkat adaptasi tinggi masyarakat Papua terhadap lingkungan maritim yang kompleks.  Bagi saya, Perahu Cadik Papua tidak sekedar artefak, melainkan jendela memahami kekayaan budaya maritim Indonesia Timur. Jika ingin menyaksikan paduan fungsi, seni, dan adaptasi terhadap alam, perahu ini adalah mahakarya Museum Bahari yang tak boleh terlewat.

(Gambar 3. Potret ruangan yang terbakarSumber: Tempo 16 Januari 2018) 

Tidak semua narasi yang pernah terhimpun di Museum Bahari berhasil bertahan melewati waktu. Pada Januari 2018, musibah kebakaran besar melanda bagian utara kompleks bangunan, menyebabkan kerusakan parah pada ruang penyimpanan yang memuat sejumlah koleksi berharga. Di antara yang hilang adalah perahu-perahu tradisional, artefak kayu bernilai historis, serta dokumentasi visual yang merekam jejak kehidupan pelaut dan masyarakat maritim Nusantara. Kehilangan ini tidak hanya bersifat material, melainkan juga epistemologis, yakni lenyapnya pengetahuan dan memori kolektif yang tidak sempat direkonstruksi atau diduplikasi. Tragedi tersebut merepresentasikan luka kultural yang mendalam. Dalam kerangka pemikiran museologi dan pelestarian warisan budaya, setiap artefak yang tersimpan di museum bukan sekadar objek statis, tetapi merupakan medium naratif yang memuat dimensi historis, sosial, dan identitas bangsa. Maka, kehancuran sebagian koleksi tersebut dapat dipandang sebagai bentuk erosi terhadap kontinuitas sejarah maritim Indonesia, sekaligus pengingat akan rapuhnya sistem perlindungan terhadap warisan budaya. Meski begitu, peristiwa ini memantik refleksi dan komitmen baru dari para pengelola dan pemangku kepentingan museum. Proses restorasi serta pendokumentasian ulang koleksi yang tersisa dilakukan secara bertahap sebagai bagian dari respons resilien terhadap kehilangan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline