Di sela kunjungan saya berkesempatan berbincang dengan salah satu sosok penting yang menjaga denyut hidup Museum Bahari, ia adalah Dita, seorang edukator sekaligus pemandu tur yang sudah lama mendampingi pengunjung menjelajahi lorong-lorong sejarah museum ini. "Menjadi pemandu wisata merupakan pengalaman yang sangat menyenangkan," ujarnya. "Tidak sekedar berjumpa pengunjung dari kawasan Jakarta saja, tapi juga dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan dari luar negeri juga sering. Karakternya beda-beda, jadi gaya penyampaian juga harus menyesuaikan." Sebagai pemandu, Dita tentu perlu menguasai bahasa asing, terutama bahasa Inggris. "Minimal dasar-dasarnya sih, yang terpenting adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif. Kita belajar terus dari orang-orang yang datang."Â
Saya pun menyinggung tantangan museum di era digital, saat anak muda lebih sering terhubung ke layar daripada ke tempat bersejarah. Dita tak langsung mengeluh. Sebaliknya, ia bercerita tentang bagaimana Museum Bahari beradaptasi. "Museum Bahari secara aktif memanfaatkan media sosial sebagai sarana komunikasi publik. Ada Instagram, YouTube, bahkan TikTok," katanya. "Kita punya program namanya Terasi, Teliti Literasi dan Koleksi. Isinya video-video pendek tentang koleksi museum, supaya lebih mudah dicerna generasi muda." Untuk urusan perawatan koleksi, Kak Dita menjelaskan bahwa Museum Bahari bekerja sama dengan tim khusus dari Cagar Budaya di kawasan Kota Tua. "Mereka yang renovasi dan merawat koleksi secara berkala, tidak hanya di sini, tapi juga museum-museum lain di Jakarta."Â
Sebelum kami berpisah, saya sempat bertanya apakah ada momen yang paling membekas selama bekerja di sini. Dita bercerita dengan antusias, "Pengalaman-pengalaman berkesan bagi saya adalah saat berkesempatan memandu tamu dari kedutaan, pejabat, adapula pejabat tinggi negara Gubernur Provinsi DKI Jakarta saat ini. Pernah juga dampingi para dosen dan peneliti. yang seringkali berkembang menjadi diskusi ilmiah, karena mereka tahu lebih dalam soal koleksi atau sejarah tertentu. Jadi kita saling bertukar pikiran." Meski tak semua detail bisa diingat, semangat Dita dalam menjaga warisan sejarah tetap terasa kuat. Ia adalah wajah ramah dari Museum Bahari, jembatan yang menghubungkan pengunjung dengan kisah-kisah masa lalu yang detailnya tak dapat ditemukan dalam buku.
Kunjungan ke Museum Bahari bukan sekadar eksplorasi ruang-ruang historis yang menyimpan artefak maritim, melainkan sebuah perjalanan intelektual sekaligus emosional yang menggugah kesadaran akan identitas kebangsaan yang dibentuk oleh laut. Melalui representasi perahu miniatur, peta pelayaran kuno, serta narasi para edukator, museum ini mengartikulasikan dimensi sejarah yang tidak selalu terepresentasi dalam kurikulum formal. Di sinilah tersirat pesan penting: laut dalam konteks Indonesia bukan semata-mata wilayah geografis, melainkan elemen sentral dalam konfigurasi budaya dan peradaban Nusantara. Pengalaman langsung tersebut memberikan kesadaran baru bahwa pelestarian budaya tidak dapat dibebankan sepenuhnya pada institusi negara atau lembaga pendidikan. Sebaliknya, ia merupakan tanggung jawab kolektif, terutama di era digital yang kerap mendistorsi hubungan generasi muda dengan akar sejarahnya. Dalam lanskap budaya populer yang serba cepat dan instan, Museum Bahari muncul sebagai ruang kontemplatif yang mengingatkan pentingnya kontinuitas sejarah dalam proses adaptasi dan kemajuan bangsa.
Melalui strategi komunikasi yang adaptif, seperti penggunaan media sosial, pendekatan edukatif yang dialogis, dan penyampaian narasi sejarah secara kreatif, Museum Bahari menunjukkan bahwa pelestarian warisan budaya maritim dapat dilakukan dengan pendekatan yang kontekstual dan inklusif. Dengan demikian, terdapat harapan bahwa warisan ini tidak akan dilupakan, melainkan akan terus diwariskan dan dikontekstualisasikan oleh generasi mendatang. Setelah berdialog dengan Dita dan menyusuri setiap sudut museum, semakin jelas bahwa Museum Bahari bukan sekadar tempat penyimpanan koleksi. Ia berfungsi sebagai ruang interaksi antar waktu yang mempertemukan masa lalu dengan masa kini, serta benda diam dengan narasi hidup yang dijaga oleh para edukator.
Daftar Pustaka
Adishakti, L. (2008). Conserving Maritime Heritage: The Case of Sunda Kelapa Port. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Afifah, I. N., & Suprijono, A. (2020). Pengelolaan hutan di Jawa dan Madura: Kajian tentang kebijakan eksploitasi hutan tahun 1913--1932. Avatara Jurnal Pendidikan Sejarah, 8(1).
Colenbrander, H. T. (1925). Jan Pieterszoon Coen: Levensbeschrijving. Den Haag: Martinus Nijhoff.
Guillot, C. (1990). The Sultanate of Banten. Jakarta: Gramedia.
Horridge, A. (2015). Outrigger Canoes of Bali and Madura. Honolulu: University of Hawaii Press.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!