Lihat ke Halaman Asli

Sasetya wilutama

Penulis. Pemerhati budaya

Pintu Air Jagir dan Kisah Mbah Kalap, si Penakluk Siluman Buaya Putih

Diperbarui: 29 Januari 2024   14:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pintu Air Jagir. (foto : Sas) 

Kali Jagir merupakan anak sungai Kali Mas dari kanal Wonokromo Kota Surabaya, yang terpisah menjadi dua cabang. Satu cabang mengalir ke Sungai Brantas, dan satunya lagi ke Sungai Jagir. Menurut sumber buku "Oud Soerabaia, De Gemeente Soerabaia" (Faber G.H : 1931), kanal Wonokromo mulai digali pada tahun 1857 oleh pemerintah kolonial Belanda  untuk proyek penanggulangan banjir. Dan ditengah Kali Jagir berdiri pintu air Jagir (Dam) yang dibangun tahun 1917 dan masih kokoh berdiri sampai sekarang.

Dalam perkembangan selanjutnya, pintu air Jagir itu dimanfaatkan pula untuk instalasi penjernihan air yang letaknya bersebelahan. Bahan baku air sungai dari dam Jagir itu dialirkan ke instalasi penjernihan dan diolah menjadi air bersih untuk kebutuhan minum warga Surabaya. Pembangunan instalasi air ini selesai pada tahun 1923. Adalah Gementee Waterleiding (GWL) Soerabaia, perusahaan milik pemerintah kolonial Belanda yang mengolah air sungai tersebut. Setelah Indonesia merdeka, GWL diambil alih oleh Pemerintah Indonesia, diganti nama menjadi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sampai sekarang masih banyak warga kota Surabaya, khususnya para manula, yang menyebut air minum PAM dengan sebutan "air ledeng". Tentunya bersumber dari nama perusahaan milik pemerintah kolonial tersebut.

Sebagai bangunan tua peninggalan Belanda, Kali Jagir beserta bangunan Dam itu menyimpan banyak kisah misteri. Salah satunya adalah siluman buaya putih yang dipercaya sebagai penunggu kawasan Kali Jagir. Beberapa orang konon mengaku pernah melihat penampakannya. Cerita itu beredar dari mulut ke mulut warga sekitar.

Kisaran tahun 70'an di kawasan ini kerap terjadi "kalap", yakni orang yang hanyut dan mati tenggelam di Kali Jagir. Menurut rumor yang beredar, siluman Kali Jagir meminta tumbal. Disinilah keahlian khusus Mbah Pesek atau Mbah Kalap berperan. Tanpa alat bantu, ia menyelam ke dasar sungai. Entah siapa nama aslinya. Orang-orang biasa memanggilnya Mbah Kalap, dan sebagian lagi ada yang memanggil Mbah Pesek, karena ia nyaris tak punya hidung. Ukuran hidungnya sangat kecil, hampir rata dengan mulut. Lubang hidungnya sangat besar, melebihi ukuran hidungnya. Perawakannya juga kecil, nyaris kerempeng. Walaupun demikian, pamornya cukup seram. Ia dijuluki penakluk siluman buaya putih yang menghuni kawasan Kali Jagir.

Selama satu sampai dua jam ia tidak muncul di permukaan air. Begitu muncul, ia sudah menyeret mayat manusia yang kondisinya sudah menggelembung.. Beberapa kali ia juga menyelamatkan orang yang nekat bunuh diri dengan terjun ke sungai. Dari mulut ke mulut berita korban "kalap" itu menyebar dengan cepat dan mengundang kedatangan warga setempat. Mereka berkerumun di sepanjang bibir sungai, menonton upaya penyelematan korban. Saking seringnya menolong korban kalap, maka orang-orang juga memanggilnya Mbah Kalap.

Memang, sebelum era tahun 90-an, kesan mistis sangat terasa jika melewati pintu air Jagir, apalagi di malam hari. Lampu penerangan jalan terbatas dan di pinggir sungai banyak bermunculan gubuk liar. Di sepanjang rel kereta api sekitar stasiun Wonokromo juga digunakan ajang prostitusi liar. Beberapa puluh meter dari Pintu Air, ada bangunan liar yang disekat-sekat dan dihuni beberapa keluarga. Konon Mbah Kalap menempati salah satu sekat rumah itu.

Namun sejak program normalisasi sungai Surabaya di era Walikota Tri Rismaharini (sekarang Menteri Sosial RI), kawasan Kali Jagir itu tampak rapi dan bersih. Seluruh bangunan gubuk liar dibersihkan, termasuk bangunan liar itu. Dan 1-3 tahun kemudian, tepatnya tahun 2009, Pemprov Jatim menggusur seluruh bangunan rumah yang berada di stren Kali jagir. Proses penggusuran ini berjalan cukup alot karena protes ratusan warga yang sudah puluhan tahun menghuni stren kali itu. Pihak Pemkot Surabaya juga sudah menyediakan alternatif rumah pengganti, antara lain di Rusun (rumah susun) Wonorejo dan Randu.

Kini Pintu Air dan sepanjang Sungai Jagir tampak rapi dan indah. Di beberapa bagian Pintu Air terpasang lampu sehingga tampak terang dan indah dilihat dari kejauhan. Di sepanjang stren kali,  bekas rumah-rumah liar penduduk, dijadikan taman dan berpagar.

Pintu Air Jagir sudah ditetapkan sebagai Cagar Budaya pada tahun 1996. Di pinggir bangunan pintu air ini ada papan pengumuman dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya bertuliskan "Sebagai lokasi pasukan tempat bersauhnya Pasukan Tar Tar yang akan menyerang Kediri pada Tahun 1293". Artinya, lokasi ini dulu menjadi tempat tempat singgah sementara pasukan Tar Tar dari Mongol, yang akhirnya dikalahkan oleh Raden Wijaya, Raja pertama kerajaan Majapahit.

Walaupun data sejarah itu masih dipertanyakan oleh beberapa ahli sejarah. Namun Pintu Air Jagir adalah salah satu bangunan kuno yang menjadi salah satu ciri khas kota Surabaya.  Kesan angkernya sudah hilang. Berita korban "kalap" juga tidak terdengar lagi. Begitu juga keberadaan Mbah Kalap juga tidak diketahui. Apakah ia sudah meninggal dunia ataukah pindah ke tempat lain karena tempat tinggalnya digusur Pemkot Surabaya, tidak ada informasi jelas. ***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline