Lihat ke Halaman Asli

Eko Gondo Saputro

TERVERIFIKASI

Dosen Tutor

Di Balik Frasa 'Stop Normalisasikan!': Dari Seruan Moral ke Penghakiman Instan

Diperbarui: 28 Juni 2025   20:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: iStock/scyther5

Tak pernah ada yang salah dari keinginan seseorang untuk mengekspresikan dirinya melalui sebuah kata. Di Indonesia sendiri khususnya pada platform social media, sering kali bermunculan berbagai kata, frasa, atau bahkan kalimat yang dapat menggambarkan apa yang dirasakan oleh seseorang.

Fungsi penggunaan bahasa masa kini tersebut awalnya tentu memiliki tujuan sebagai bentuk ekspresi diri. Namun, saat ini fungsi tersebut sekali kali bisa berubah menjadi 'peluru sosial' baru yang siap ditembakan pada siapa pun itu.

Seperti namanya, kegunaan peluru ini bisa memunculkan dua kemungkinan yang dapat terjadi; pertama, dapat menembak dan melumpuhkan orang yang jahat dan kedua, sebaliknya dapat menjadi alat untuk menyakiti orang yang tidak bersalah atau seharusnya.

Kultur digital yang berkembang semakin cepat, terkadang membuat seseorang lebih banyak melakukan reaksi emosional dibandingkan dengan refleksi rasional. Apalagi jika hal tersebut sudah dibalut oleh sebuah kata, seolah mereka dapat mengekspresikan dirinya secara implusif dan terkadang memicu penghakiman pada suatu kondisi.

Baru-baru ini tren sosial media terhadap sebuah frasa 'stop normalisasikan!' sedang banyak digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, baik itu di dalam bentuk konten, cuitan, atau bahkan komentar di berbagai platform sosial media.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), normalisasi memiliki arti menjadikan normal atau biasa kembali; tindakan mengembalikan pada keadaan, hubungan, dan sebagainya yang biasa atau yang normal. Sehingga frasa "stop normalisasikan!" ini kemudian diartikan sebagai sebuah seruan moral terhadap sesuatu hal yang tidak baik dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat.

Namun, untuk mencapai kesimpulan dalam penggunaan frasa tersebut, seseorang harus mengerti konsepnya terlebih dahulu. Secara gramatikal, penggunaan frasa tersebut sah-sah saja digunakan oleh siapa pun. Namun, penting untuk mengetahui konteks, data, atau bahkan pemahaman yang cukup sehingga akhirnya memiliki kesimpulan tentang adanya sebuah dugaan akan kekeliruan sistemik tersebut.

Sebenarnya tidak ada larangan dalam penggunaan frasa tersebut, tetapi karena frasa tersebut mengandung sebuah klaim moral, maka seseorang perlu siap menjelasan tentang apa yang sedang dinormalisasikan, oleh siapa, lewat cara apa, berdasarkan standar atau nilai siapa, sehingga hal ini dapat menghindari potensi penyalahgunaan frasa sebagai palu penghakiman yang bisa menyakiti orang lain.

Pada beberapa kasus, penggunaan frasa tersebut sudah diterapkan pada hal-hal yang seharusnya. Misalnya, ketika ada sebuah fenomena atau tren yang merebak dan disinyalir dapat merusak moral masyarakat, frasa ini banyak digunakan baik dalam konten, cuitan, maupun komentar dari banyak netizen yang budiman.

Tetapi, yang mengkhawatirkan saat ini adalah ketika frasa 'stop normalisasikan!" ini mulai berubah menjadi tren penghakiman instan di berbagai platform sosial media. Seolah melakukan moral licensing, saat ini banyak orang yang berlindung dibalik 'niat baik'yang pada akhirnya menggeser fungsi positif dari frasa tersebut, dan menjadikannya alat bullying baru yang 'dibenarkan' di dalam tatanan sosial media.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline