Banyak contoh kasus penghakiman instan dalam penggunaan frasa 'stop normalisaiskan!' , misalnya saja pada sebuah konten video pendek reels Instagram yang menunjukkan sebuah pertemenan dua sejoli anak remaja SMA namun memiliki perbedaan tinggi badan yang jomplang. Di mana, salah satu anak remaja SMA dalam video tersebut memiliki tubuh yang sangat mungil dan dengan tinggi di bawah rata-rata remaja perempuan pada umumnya.
Banyak netizen yang memberikan komentar positif mulai dari pujian bahkan hingga candaan yang cukup menggelitik karena adanya komentar yang mengumpakan si anak remaja SMA tersebut dengan botol yakult yang mungil. Di balik itu, ada beberapa netizen lainnya yang mengungkapkan komentar dengan bunyi 'stop menormalisasikan stunting!' hingga 'ini sih bukan imut tapi stunting, stop normalisasikan ini deh!'.
Jika kita uraikan, netizen yang memberikan komentar dengan frasa tersebut seolah memberikan penghakiman instan tanpa melakukan analisis mendalam. Alasan ungkapan stunting (kekurangan gizi) ini dapat dikatakan hanya satu dari beberapa alasan lainnya yang bisa menjelaskan mengapa seseorang memiliki tubuh yang kecil/pendek dibawah standar rata-rata.
Sebenarnya ada alasan lain; bisa karena faktor genetik (keturunan) baik itu dari orang tau maupun variasi genetik alami, kondisi genetik lainnya seperti dwarfism, kelainan hormon pertumbuhan, atau bahkan kelainan kromosom.
Tidak hanya itu saja, faktor lingkungan sosial di mana anak-anak tumbuh (karena stress, kekerasan dll) juga dapat menyebabkan ganguan hormonal dan dapat menghambat pertumbuhan. Bahkan yang miris alasan terbatasnya akses pada layanan kesehatan atau sanitasi yang buruk pun bisa menjadi alasan dibalik mengapa seseorang memiliki tubuh yang kecil/pendek dibawah standar rata-rata.
Pada akhirnya, ungkapan frasa 'stop normalisasikan!' menjadi senjata baru bagi beberapa orang untuk melakukan tindakan bullying di sosial media. Netizen-netizen yang mengungkapkan permasalahan stunting tersebut bahkan seolah menekankan bagaimana anak remaja SMA itu justru tidak menjaga pola makanan yang sehat, bahkan hingga menyalahkan orang tuanya yang membiarkan semua ini terjadi.
Kembali lagi, mereka yang berlindung dibalik frasa tersebut mengungkapkan bahwa ini merupakan 'niat baik' agar tidak ada lagi orang-orang yang menglorifikasi stunting. Yang membingungkan adalah bagaimana mereka menyimpulkan stunting dengan cepat, menghakimi anak remaja SMA tersebut dan orang tuanya, bahkan menganggap komentar positif/afeksi dari netizen lainnya sebagai bentuk menormalisasikan stunting.
Tanpa melalui proses pemahaman yang mendalam, penggunaan frasa 'stop normalisasikan!' ini seolah seperti menyederhanakan masalah yang begitu kompleks dan kemudian mengubah ruang publik di sosial media menjadi medan penghakiman. Pada akhirnya, tujuan awal yang positif dari penggunaan frasa tersebut menjadi luntur dan lahir menjadi peluru sosial yang digunakan untuk menyakiti orang lain.
Terkadang, banyak dari kita yang merasa tinggi secara moral maupun intelektual. Sehingga, merasa bebas untuk menormalisasikan segala bentuk bullying yang dibalut dengan 'niat baik'.Â
Semua orang berhak menggunakan kata, frasa, atau kalimat apapun sebagai bentuk ungkapan ekspresi diri, dukungan, penolakan dsb. Tetapi, yang terpenting adalah bagaimana kita harus memiliki rasa bertanggung jawab dalam menggunakannya baik secara tepat guna maupun makna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI