Tak pernah ada yang salah dari keinginan seseorang untuk mengekspresikan dirinya melalui sebuah kata. Di Indonesia sendiri khususnya pada platform social media, sering kali bermunculan berbagai kata, frasa, atau bahkan kalimat yang dapat menggambarkan apa yang dirasakan oleh seseorang.
Fungsi penggunaan bahasa masa kini tersebut awalnya tentu memiliki tujuan sebagai bentuk ekspresi diri. Namun, saat ini fungsi tersebut sekali kali bisa berubah menjadi 'peluru sosial' baru yang siap ditembakan pada siapa pun itu.
Seperti namanya, kegunaan peluru ini bisa memunculkan dua kemungkinan yang dapat terjadi; pertama, dapat menembak dan melumpuhkan orang yang jahat dan kedua, sebaliknya dapat menjadi alat untuk menyakiti orang yang tidak bersalah atau seharusnya.
Kultur digital yang berkembang semakin cepat, terkadang membuat seseorang lebih banyak melakukan reaksi emosional dibandingkan dengan refleksi rasional. Apalagi jika hal tersebut sudah dibalut oleh sebuah kata, seolah mereka dapat mengekspresikan dirinya secara implusif dan terkadang memicu penghakiman pada suatu kondisi.
Baru-baru ini tren sosial media terhadap sebuah frasa 'stop normalisasikan!' sedang banyak digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, baik itu di dalam bentuk konten, cuitan, atau bahkan komentar di berbagai platform sosial media.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), normalisasi memiliki arti menjadikan normal atau biasa kembali; tindakan mengembalikan pada keadaan, hubungan, dan sebagainya yang biasa atau yang normal. Sehingga frasa "stop normalisasikan!" ini kemudian diartikan sebagai sebuah seruan moral terhadap sesuatu hal yang tidak baik dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat.
Namun, untuk mencapai kesimpulan dalam penggunaan frasa tersebut, seseorang harus mengerti konsepnya terlebih dahulu. Secara gramatikal, penggunaan frasa tersebut sah-sah saja digunakan oleh siapa pun. Namun, penting untuk mengetahui konteks, data, atau bahkan pemahaman yang cukup sehingga akhirnya memiliki kesimpulan tentang adanya sebuah dugaan akan kekeliruan sistemik tersebut.
Sebenarnya tidak ada larangan dalam penggunaan frasa tersebut, tetapi karena frasa tersebut mengandung sebuah klaim moral, maka seseorang perlu siap menjelasan tentang apa yang sedang dinormalisasikan, oleh siapa, lewat cara apa, berdasarkan standar atau nilai siapa, sehingga hal ini dapat menghindari potensi penyalahgunaan frasa sebagai palu penghakiman yang bisa menyakiti orang lain.
Pada beberapa kasus, penggunaan frasa tersebut sudah diterapkan pada hal-hal yang seharusnya. Misalnya, ketika ada sebuah fenomena atau tren yang merebak dan disinyalir dapat merusak moral masyarakat, frasa ini banyak digunakan baik dalam konten, cuitan, maupun komentar dari banyak netizen yang budiman.
Tetapi, yang mengkhawatirkan saat ini adalah ketika frasa 'stop normalisasikan!" ini mulai berubah menjadi tren penghakiman instan di berbagai platform sosial media. Seolah melakukan moral licensing, saat ini banyak orang yang berlindung dibalik 'niat baik'yang pada akhirnya menggeser fungsi positif dari frasa tersebut, dan menjadikannya alat bullying baru yang 'dibenarkan' di dalam tatanan sosial media.
Banyak contoh kasus penghakiman instan dalam penggunaan frasa 'stop normalisaiskan!' , misalnya saja pada sebuah konten video pendek reels Instagram yang menunjukkan sebuah pertemenan dua sejoli anak remaja SMA namun memiliki perbedaan tinggi badan yang jomplang. Di mana, salah satu anak remaja SMA dalam video tersebut memiliki tubuh yang sangat mungil dan dengan tinggi di bawah rata-rata remaja perempuan pada umumnya.
Banyak netizen yang memberikan komentar positif mulai dari pujian bahkan hingga candaan yang cukup menggelitik karena adanya komentar yang mengumpakan si anak remaja SMA tersebut dengan botol yakult yang mungil. Di balik itu, ada beberapa netizen lainnya yang mengungkapkan komentar dengan bunyi 'stop menormalisasikan stunting!' hingga 'ini sih bukan imut tapi stunting, stop normalisasikan ini deh!'.
Jika kita uraikan, netizen yang memberikan komentar dengan frasa tersebut seolah memberikan penghakiman instan tanpa melakukan analisis mendalam. Alasan ungkapan stunting (kekurangan gizi) ini dapat dikatakan hanya satu dari beberapa alasan lainnya yang bisa menjelaskan mengapa seseorang memiliki tubuh yang kecil/pendek dibawah standar rata-rata.
Sebenarnya ada alasan lain; bisa karena faktor genetik (keturunan) baik itu dari orang tau maupun variasi genetik alami, kondisi genetik lainnya seperti dwarfism, kelainan hormon pertumbuhan, atau bahkan kelainan kromosom.
Tidak hanya itu saja, faktor lingkungan sosial di mana anak-anak tumbuh (karena stress, kekerasan dll) juga dapat menyebabkan ganguan hormonal dan dapat menghambat pertumbuhan. Bahkan yang miris alasan terbatasnya akses pada layanan kesehatan atau sanitasi yang buruk pun bisa menjadi alasan dibalik mengapa seseorang memiliki tubuh yang kecil/pendek dibawah standar rata-rata.
Pada akhirnya, ungkapan frasa 'stop normalisasikan!' menjadi senjata baru bagi beberapa orang untuk melakukan tindakan bullying di sosial media. Netizen-netizen yang mengungkapkan permasalahan stunting tersebut bahkan seolah menekankan bagaimana anak remaja SMA itu justru tidak menjaga pola makanan yang sehat, bahkan hingga menyalahkan orang tuanya yang membiarkan semua ini terjadi.
Kembali lagi, mereka yang berlindung dibalik frasa tersebut mengungkapkan bahwa ini merupakan 'niat baik' agar tidak ada lagi orang-orang yang menglorifikasi stunting. Yang membingungkan adalah bagaimana mereka menyimpulkan stunting dengan cepat, menghakimi anak remaja SMA tersebut dan orang tuanya, bahkan menganggap komentar positif/afeksi dari netizen lainnya sebagai bentuk menormalisasikan stunting.
Tanpa melalui proses pemahaman yang mendalam, penggunaan frasa 'stop normalisasikan!' ini seolah seperti menyederhanakan masalah yang begitu kompleks dan kemudian mengubah ruang publik di sosial media menjadi medan penghakiman. Pada akhirnya, tujuan awal yang positif dari penggunaan frasa tersebut menjadi luntur dan lahir menjadi peluru sosial yang digunakan untuk menyakiti orang lain.
Terkadang, banyak dari kita yang merasa tinggi secara moral maupun intelektual. Sehingga, merasa bebas untuk menormalisasikan segala bentuk bullying yang dibalut dengan 'niat baik'.Â
Semua orang berhak menggunakan kata, frasa, atau kalimat apapun sebagai bentuk ungkapan ekspresi diri, dukungan, penolakan dsb. Tetapi, yang terpenting adalah bagaimana kita harus memiliki rasa bertanggung jawab dalam menggunakannya baik secara tepat guna maupun makna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI