Pembangunan kilang minyak merupakan salah satu kebutuhan strategis Indonesia untuk mewujudkan kemandirian energi dan memperkuat ketahanan nasional. Namun, selama lebih dari empat dekade, Indonesia belum mampu membangun kilang baru meskipun kebutuhan energi dalam negeri terus meningkat dan impor bahan bakar semakin membebani neraca perdagangan, menguras devisa negara, dan melemahkan ketahanan energi nasional.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius: siapa sebenarnya dalang di balik gagalnya pembangunan kilang baru di Indonesia? Apakah kegagalan ini sekadar akibat kendala teknis, ataukah ada jaringan kepentingan politik, mafia energi, dan tekanan asing yang dengan sengaja menghambat upaya Indonesia untuk mandiri dalam penyediaan energi?
Padahal dalam catatan sejarah, Indonesia pernah menjadi salah satu eksportir minyak mentah terbesar di dunia, terutama pada era 1970--1980-an ketika produksi minyak mencapai lebih dari 1,6 juta barel per hari.
Namun, seiring menurunnya kapasitas produksi akibat lapangan tua dan lemahnya eksplorasi, Indonesia berubah menjadi net importir minyak sejak awal 2000-an. Ironisnya, meskipun kebutuhan BBM terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan ekonomi, Indonesia tak kunjung membangun kilang baru sejak Kilang Balongan (1994).
Akibatnya, kapasitas kilang nasional hanya sekitar 1,1 juta barel per hari, jauh tertinggal dari kebutuhan konsumsi domestik yang mencapai lebih dari 1,6 juta barel per hari pada 2023. Defisit inilah yang membuat impor BBM terus membengkak dan membuka ruang rente yang dinikmati oleh segelintir kelompok.
Ketiadaan pembangunan kilang baru selama puluhan tahun mencerminkan adanya persoalan struktural dalam tata kelola migas nasional. Salah satu faktor utama adalah keberadaan mafia migas yang menguasai rantai impor BBM.
Setiap kali Indonesia mengimpor BBM, terdapat potensi rente miliaran dolar yang bisa dinikmati oleh pihak-pihak tertentu melalui praktik mark-up harga, pengaturan tender, hingga permainan distribusi.
Bagi kelompok mafia, keberadaan kilang domestik justru dianggap ancaman karena akan mengurangi ketergantungan terhadap impor dan sekaligus memangkas ruang rente yang selama ini mereka nikmati. Oleh karena itu, pembangunan kilang seringkali diperlambat, digagalkan, atau dibuat sekadar proyek wacana tanpa realisasi nyata.
Selain mafia migas, pejabat korup juga memainkan peran sentral dalam melanggengkan status quo. Dalam berbagai kasus, pejabat publik memiliki keterkaitan langsung atau tidak langsung dengan bisnis impor migas, baik melalui perusahaan cangkang, jaringan perantara, maupun hubungan patronase dengan pihak swasta.
Mereka lebih memilih mempertahankan mekanisme impor yang menguntungkan ketimbang memperjuangkan kedaulatan energi. Tidak jarang, pejabat yang seharusnya menjadi pengambil kebijakan justru berperan sebagai penghisap rente dengan memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri melalui kontrak impor jangka panjang. Kondisi ini menimbulkan konflik kepentingan yang sistemik dan membuat pembangunan kilang domestik tidak pernah menjadi prioritas nasional.