Mohon tunggu...
Tiga  Cahaya Center
Tiga Cahaya Center Mohon Tunggu... Seniman Wapres-Dosen Filsafat

Seniman Wapres, Dosen Filsafat UIN-SU

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"DARI TABAGSEL UNTUK INDONESIA: Merawat Bahasa, Merajut Kebangsaan"

3 Oktober 2025   19:49 Diperbarui: 3 Oktober 2025   20:19 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi AI  

DARI TABAGSEL UNTUK INDONESIA: Merawat Bahasa, Merajut Kebangsaan

Awal Cerita 

Memasuki bulan Oktober 2025 ini, ada dua hal yang menjadi trigger tulisan ini. Saya, sebagai  seniman ca.wapres, berimajinasi betapa a bahasa dan orang Tabagsel khususnya dan generasi muda umumnya amat sangat penting tampil dalam percaturan global ini.

Pertama, Jakarta, 2 Mei 1926. Di Loji Bintang Timur, udara rapat mengeras. Yamin menulis bahasa persatuan Melayu, Adinegoro mengangguk, Tabrani melawan dengan gagasan bahasa Indonesia. Kata-kata menjadi senjata, ejekan pun meluncur: "tukang ngelamun." Skor 2-1 untuk Yamin. Lalu pintu berderit, masuklah Sanusi Pane---pemuda Tapanuli Selatan, penyair sekaligus pejuang. Ia datang terlambat, namun kata-katanya bagai cahaya: bangsa bernama Indonesia harus pula berbahasa Indonesia. Arah perdebatan berubah. Naskah Yamin kandas, ikrar ditunda.

Dua tahun kemudian, Sumpah Pemuda lahir. Dalam senyap sejarah, seorang anak Tapanuli Selatan tercatat sebagai penyelamat bahasa Indonesia, bahasa persatuan kita dalam perdebatan itu. Sejarah kebangkitan bangsa menemukan momentumnya pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Saat itu lahir tiga ikrar besar:

  1. Bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.
  2. Berbangsa satu, bangsa Indonesia.
  3. Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Pilihan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan adalah keputusan historis yang jenius. Ia bukan bahasa baru, tetapi bentuk modern dari bahasa Melayu yang sejak lama menjadi lingua franca di Nusantara. Namun, dengan nama "Indonesia", bahasa ini tidak lagi milik satu etnis, melainkan milik seluruh bangsa.

 

Kedua,   Beberapa hari lalu, telepon saya berdering. Sahabat saya, Zufri Hidayat, S.Sos., M.Hum., sebagai penitian dan pemerhati bahasa Indonesia, membawa kabar: Balai Bahasa Sumatera Utara akan menggelar Lokakarya Kosakata Bahasa Daerah pada 24--26 September 2025 di Medan. Bahasa Angkola dan Mandailing menjadi sorotan utama, dengan peserta dari berbagai kalangan siap menyumbangkan khazanah kata untuk memperkaya KBBI.

Saat perbincangan disela acara, Zufri menegaskan tiga pilar bahasa bangsa: "Bahasa Persatuan Indonesia sebagai pilar kebangsaan, diutamakan; bahasa daerah sebagai akar identitas, dijaga; dan bahasa asing sebagai jendela dunia, dikuasai." Lokakarya ini bukan sekadar forum ilmiah, tetapi ikhtiar kebangsaan: merawat bahasa ibu, memperkokoh persatuan, dan menyiapkan bangsa agar tegak dalam tradisi sekaligus terbuka pada peradaban global.

Tiga Alasan Filosofis  Bahasan Ini Penting 

Di tengah derasnya arus globalisasi, bahasa sering dianggap sekadar alat komunikasi. Namun bagi Tabagsel---khususnya generasi muda Gen Z---bahasa adalah lebih dari itu: ia adalah identitas, warisan, dan jembatan antara lokal dan dunia. Merawat bahasa Angkola dan Mandailing bukan hanya soal kata-kata, tetapi tentang menegaskan siapa kita, dari mana asal kita, dan ke mana kita ingin melangkah sebagai bangsa. Ada tiga hal yang mendasari topik ini menjadi amat sangat penting:

  1. Bahasa sebagai Penanda Identitas dan Eksistensi. Martin Heidegger menyebut bahasa sebagai "rumah keberadaan" (das Haus des Seins). Artinya, manusia hanya sungguh ada ketika ia mengekspresikan dirinya dalam bahasa. Bagi Gen Z Tabagsel, kesadaran bahwa bahasa Angkola dan Mandailing turut memberi dasar bagi bahasa Indonesia berarti menemukan rumah eksistensial mereka dalam kebangsaan. Ini bukan sekadar romantisme sejarah, tetapi pengakuan bahwa keberadaan kolektif mereka telah ikut menenun dasar persatuan bangsa.
  2. Tradisi sebagai Sumber Moral dan Falsafah Hidup. Alasdair MacIntyre berpendapat bahwa tradisi adalah sumber utama moralitas komunitas. Falsafah Dalihan Natolu dari Angkola dan Mandailing---dengan ajaran Somba Marhulahula, Elek Marboru, Manat Mardongan Tubu---adalah sistem etika lokal yang relevan hingga kini. Jika bahasa Angkola dan Mandailing diserap ke dalam KBBI, maka sejatinya nilai-nilai etis ini sedang diabadikan. Gen Z diajak untuk tidak hanya menguasai teknologi, tetapi juga menjaga akar etika leluhur sebagai bekal dalam menghadapi era disrupsi.
  3. Bahasa sebagai Jembatan Lokal--Global. Wilhelm von Humboldt menegaskan bahwa setiap bahasa adalah pandangan dunia (Weltansicht). Artinya, bahasa bukan sekadar kata, tetapi cara suatu bangsa melihat realitas.  Bagi Gen Z, inilah peta jalan kebudayaan: berakar kuat di lokal, berdiri kokoh dalam nasional, dan terbuka luas pada global. Dengan begitu, mereka mampu menjadi generasi inovatif yang tidak kehilangan jati diri sekaligus mampu berdialog dengan dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun