Saya bukan seorang food reviewer profesional. Bahkan, bisa dibilang saya jarang sekali mengulas makanan. Apa lagi membagikan ulasan makanan, saya hampir tidak pernah melakukan hal itu.
Bagi saya, jika sebuah hidangan enak, saya akan menikmatinya dalam diam. Jika kurang sesuai selera, saya lebih memilih mengingatnya tanpa perlu mengumbarnya ke publik.
Namun, di era digital seperti sekarang, saya sadar bahwa satu ulasan saja bisa berdampak besar. Ada restoran yang dulunya ramai, tiba-tiba sepi setelah ada satu ulasan negatif viral? Atau sebaliknya, ada makanan biasa saja yang mendadak booming hanya karena review seseorang yang berpengaruh?
Di sinilah saya mulai berpikir, bagaimana cara mengulas makanan dengan jujur tapi tetap menghormati usaha orang lain?
Jujur Bukan Berarti Menyakiti
Ada anggapan bahwa untuk menjadi reviewer yang dipercaya, seseorang harus blak-blakan dan apa adanya. Saya setuju bahwa kejujuran adalah kunci, tapi jujur tidak harus menyakiti.
Ada cara untuk menyampaikan pendapat tanpa menjatuhkan. Misalnya, jika food reviewer mencicipi sebuah makanan yang ternyata tidak sesuai ekspektasi, mungkin lebih baik berkata:
"Rasanya lebih ringan dibanding yang saya bayangkan, cocok untuk yang tidak suka makanan terlalu berbumbu."
Daripada langsung mengatakan: "Bumbunya hambar, sama sekali tidak terasa."
Dalam dunia kuliner, rasa itu subjektif. Yang menurut saya kurang berbumbu, bisa jadi justru pas di lidah orang lain. Yang menurut saya terlalu manis, mungkin bagi orang lain adalah definisi sempurna dari hidangan penutup.
Jadi, saat mengulas makanan, penting untuk memberi ruang bagi perspektif lain. Hal itu sering saya alami sendiri saat mencicipi makanan yang ibu saya hidangkan, setiap penghuni rumah memiliki prespektifnya sendiri.