Lihat ke Halaman Asli

Rinaldi Sutan Sati

Rakyat Biasa

Rumah yang Disita, Demokrasi yang Luka; Kisah Muflihun, S.STP., M.AP., dalam PILKADA Walikota Pekanbaru 2024

Diperbarui: 29 September 2025   17:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Polda Riau bersama Muflihun, Nuraida (kakak Muflihun) beserta Kuasa Hukum Muflihun saat Penyerahan Rumah (Sumber Photo: Lawyer Muflihun)


Pilkada bukan hanya soal suara rakyat yang dihitung di bilik suara. Ia adalah arena besar di mana hukum, politik, dan persepsi publik saling bertarung. Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau, menyaksikan hal itu pada akhir 2024. Nama Muflihun, S.STP., M.AP., seorang birokrat yang menanjak hingga dipercaya menjadi Penjabat Walikota Pekanbaru (2023--2024) sekaligus pernah menduduki kursi Sekretaris pada Sekretariat DPRD Provinsi Riau (2020--2024), muncul sebagai calon kuat walikota.Didukung koalisi besar --- Gerindra, PAN, PSI, Gelora, Perindo, dan PRIMA--- Muflihun memasuki kontestasi dengan posisi elektoral yang menjanjikan. Namun, semua berubah drastis pada bulan November 2024, saat aparat penegak hukum melakukan penyitaan rumah yang menurut informasi media, dibeli dari uang almarhum bapaknya dan dirinya. Agaknya, rumah tersebut, saat diterbitkannya surat penyitaan, dikaitkan dengan SPPD fiktif di Sekretariat DPRD Provinsi Riau yang sedang disidik oleh Polda Riau.Semua masyarakat Pekanbaru yang menyimak berita SPPD Fiktif agaknya mengetahui bahwa, penyitaan itu dilakukan tepat menjelang masa tenang Pilkada. Pemberitaan yang masif menghantam reputasi Muflihun, membuat kepercayaan publik luntur, dan akhirnya berkontribusi pada kekalahannya. Ironisnya, sekitar 10 bulan kemudian, Pengadilan Negeri Pekanbaru melalui praperadilan yang diajukan oleh lelaki kelahiran Pekanbaru inim menyatakan penyitaan itu tidak sah, lalu rumah tersebut pun hari ini (29/09/25) dikembalikan.
Kisah ini bukan hanya cerita pribadi seorang calon walikota, tetapi juga refleksi rapuhnya demokrasi lokal ketika hukum tidak dijalankan secara proporsional.

Jejak Karier Seorang Birokrat
Muflihun lahir di Pekanbaru pada 22 Februari 1978 dan dibesarkan dalam kultur birokrasi yang disiplin. Ayahnya, H. Rusli Yatim S.H merupakan salah satu utusan pemuda saat pembentukan Provinsi Riau. Dengan latar belakang pendidikan administrasi publik (STPDN), ia menapaki karier sebagai aparatur sipil negara. Tahun 2020 menjadi tonggak penting; ia dilantik sebagai Sekretaris di Sekretariat DPRD Provinsi Riau. Posisi ini menuntut kecermatan administrasi sekaligus ketahanan mental menghadapi tarik-menarik kepentingan politik.
Pada 2023, kepercayaan pemerintah pusat kepadanya kian nyata. Muflihun ditunjuk sebagai Penjabat Walikota Pekanbaru. Selama satu tahun, ia berusaha menata birokrasi, memperkuat pelayanan publik, dan menjaga stabilitas pemerintahan kota.
Rekam jejak itu menjadi modal politik saat ia memutuskan maju dalam Pilkada Walikota Pekanbaru 2024. Dengan koalisi lima partai besar pengusung dan satu pertai pendukung, Muflihun dipandang sebagai kandidat yang serius dan potensial menang. Survei elektabilitas menunjukkan posisinya kompetitif di papan atas. Namun, politik selalu penuh kejutan, dan bagi Muflihun, kejutan itu datang dalam bentuk kasus hukum.

Dugaan SPPD Fiktif dan Penyitaan di November 2024
Kasus yang menyeret nama Muflihun berawal dari dugaan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di Sekretariat DPRD Provinsi Riau. Sebagai pejabat yang pernah menjabat Sekretaris DPRD, namanya ikut diseret dalam proses penyelidikan hingga penyidikan.
Meski statusnya belum pernah ditetapkan sebagai tersangka, aparat penegak hukum tetap melangkah lebih jauh: melakukan penyitaan rumah pribadi Muflihun pada November 2024. Waktu penyitaan ini bukan sekadar detail teknis. November adalah bulan terakhir kampanye, saat masyarakat sudah hampir menentukan pilihan, dan masa tenang hanya berjarak sekitar satu hari.
Penyitaan itu diberitakan luas. Media menyorot rumah pribadi seorang calon walikota yang kini menjadi "barang bukti". Publik yang awam pada prosedur hukum tentu lebih mudah menyimpulkan: bila rumah disita, pasti ada yang salah.
Dalam teori komunikasi politik, ini disebut framing effect. Sekalipun secara hukum belum tentu bersalah, framing media mampu membentuk persepsi publik seolah Muflihun sudah terbukti bermasalah.
Survei elektabilitas yang semula menempatkan Muflihun pada posisi kuat tiba-tiba anjlok setelah penyitaan rumah diberitakan. Bagi pemilih swing voter, isu integritas menjadi sangat menentukan. Narasi "calon walikota bermasalah hukum" jauh lebih kuat efeknya daripada janji program kerja.
Koalisi partai pendukung tentu berupaya menangkis isu ini, tetapi waktu terlalu sempit. Masa kampanye hampir berakhir, dan ruang untuk klarifikasi terbatas. Lawan politik pun memanfaatkan isu ini untuk merusak citra Muflihun.
Pada hari pemungutan suara, hasilnya mengecewakan. Muflihun tidak mampu mengejar perolehan suara rivalnya. Kekalahan ini diyakini banyak pengamat bukan karena lemahnya mesin partai, melainkan akibat hantaman isu hukum di saat krusial.

Praperadilan: Kemenangan yang Terlambat
Pasca Pilkada, Muflihun menggugat tindakan penyitaan itu melalui mekanisme praperadilan di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Dalam sidang, majelis hakim memutuskan bahwa penyitaan rumah tidak sah menurut hukum. Dalam pertimbangan Hakim tunggal yang memeriksa, mengadili dan memutus praperadilan tersebut, tindakan termohon (Polda Riau) terkesan tergesa-gesa. Sehingga diputuskanlah jika penyitaan tersebut tidak sah dan tidak berdasar hukum.
Putusan ini menegaskan bahwa tindakan aparat penegak hukum melampaui kewenangan. Rumah dikembalikan kepada Muflihun, dan secara hukum, ia mendapat rehabilitasi parsial. Namun, kemenangan itu datang setelah pesta demokrasi usai. Pilkada sudah menghasilkan pemenang. Kerugian politik yang diderita Muflihun tidak bisa dipulihkan hanya dengan kembalinya rumah.

Analisis Hukum: Antara KUHAP dan Hak Politik
Kasus ini harus dilihat dalam dua dimensi hukum. Pertama, dimensi hukum acara pidana. KUHAP jelas memberikan batasan ketat terhadap penyitaan. Tanpa izin pengadilan dan tanpa relevansi langsung dengan tindak pidana, penyitaan menjadi cacat hukum. PN Pekanbaru menegaskan hal itu.
Kedua, dimensi hak politik. UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) menjamin setiap orang berhak atas perlindungan hukum yang adil. UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menjamin hak calon kepala daerah untuk berkontestasi tanpa hambatan diskriminatif. Bahkan secara internasional, ICCPR menjamin hak warga negara untuk dipilih dalam pemilu yang bebas.
Penyitaan rumah Muflihun pada November 2024 tidak hanya melanggar KUHAP, tetapi juga berimplikasi pada pelanggaran hak politik. Ketika tindakan hukum dilakukan pada momentum politik yang sangat menentukan, hasil pemilu menjadi dipertanyakan integritasnya.

Dimensi Sosial dan Psikologis
Rumah bukan hanya bangunan, melainkan simbol martabat keluarga. Penyitaan rumah Muflihun di hadapan publik melukai harga diri keluarga, memaksa mereka menghadapi stigma sosial, dan meninggalkan trauma psikologis.
Bagi masyarakat, kasus ini menjadi cermin betapa hukum bisa mencampuri urusan politik. Kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum menurun. Banyak yang merasa demokrasi lokal di Pekanbaru telah terganggu oleh tindakan hukum yang tidak proporsional.
Setelah memenangkan praperadilan, jalan hukum yang masih terbuka bagi Muflihun adalah mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Dasar hukumnya jelas, Pasal 1365 KUHPerdata---setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian mewajibkan pelaku mengganti kerugian.
Unsur-unsurnya terpenuhi:

  • Ada perbuatan melawan hukum --- penyitaan rumah tanpa dasar sah;
  • Ada kesalahan aparat --- melanggar prosedur KUHAP.;
  • Ada kerugian --- kehilangan rumah sementara, rusaknya nama baik, hilangnya peluang politik.;
  • Ada hubungan kausal --- penyitaan di November 2024 berkontribusi langsung pada kekalahan di Pilkada.

Dalam gugatan PMH, Muflihun dapat menuntut; Kerugian materiil berupa biaya kampanye yang terbuang sia-sia, kerugian akibat kehilangan penguasaan rumah. Kerugian immateriil; penderitaan psikologis, rusaknya reputasi, hilangnya kesempatan menang Pilkada. Selain kompensasi, gugatan ini juga berfungsi sebagai mekanisme kontrol, agar aparat penegak hukum lebih berhati-hati dalam bertindak, terutama di masa politik sensitif.

Refleksi Demokrasi Lokal

Kasus Muflihun adalah contoh nyata rapuhnya demokrasi lokal. Ketika hukum dijalankan tanpa proporsionalitas, hasil politik bisa terdistorsi. Pilkada seharusnya menjadi arena adu gagasan, tetapi berubah menjadi panggung di mana isu hukum menjadi senjata paling mematikan. Dari kasus ini, ada beberapa pelajaran penting bahwa mestinya aparat penegak hukum harus ekstra hati-hati dalam mengambil langkah menjelang pemilu. Kemudian, mekanisme pengawasan independen hendaknya perlu diperkuat untuk mencegah politisasi hukum. Serta, masyarakat perlu meningkatkan literasi hukum agar tidak mudah terjebak framing media.

Demokrasi hanya akan sehat jika hukum benar-benar netral. Bila tidak, Pilkada hanya akan menjadi panggung formalitas tanpa substansi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline