Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Money

Kartu Kredit dan Cinta Toksik : Makin Deket Makin Terluka :)

6 Oktober 2025   03:29 Diperbarui: 6 Oktober 2025   03:29 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ada kesamaan halus --- tapi mematikan --- antara kartu kredit dan cinta toksik:
keduanya memberi rasa bahagia di awal, dan tagihan di akhir.
Keduanya juga membuatmu merasa "punya segalanya," sampai sadar bahwa yang kamu miliki hanyalah beban bunga yang manis di brosur, tapi pahit di realita.

Zaman dulu, orang jatuh cinta pakai bunga mawar.
Sekarang, pakai bunga 2,25% per bulan.
Dan entah kenapa, makin besar bunganya, makin sulit dilepaskan.
Karena kartu kredit --- seperti cinta yang salah --- selalu membisikkan kata-kata manis:
"Tenang, bayar minimum aja dulu."
Lalu tiba-tiba, hidupmu berubah jadi drama sinetron bertema 'Aku, Kamu, dan Cicilan.'

Fenomena ini sungguh menarik secara ekonomi dan psikologi:
banyak orang tidak berhutang karena miskin, tapi karena lapar validasi.
Kartu kredit bukan cuma alat transaksi, tapi juga alat pencitraan.
Swipe itu seperti berkata ke dunia, "Lihat, aku mapan!"
Padahal di rumah, kalkulator menangis.

Saya pernah menghadiri seminar finansial di mana seorang motivator berkata,
"Kartu kredit itu sahabat terbaikmu kalau kamu bijak."
Saya ingin menjawab, "Begitu juga dengan mantan."
Keduanya bisa sangat membantu... asal tidak disalahgunakan.

Dari sisi teori perilaku, ini disebut reward illusion --- perasaan bahwa kita "dapat hadiah" saat belanja, padahal sebenarnya sedang memperpanjang masa perbudakan finansial.
Promo cashback dan point reward hanyalah bumbu psikologis yang membuat kita senang disakiti.
Mirip hubungan yang penuh drama, tapi sulit ditinggalkan karena katanya, "Dia baik kok, kalau lagi nggak marah."

Namun, sebagai ekonom yang masih percaya pada akal sehat, saya tak ingin hanya menertawakan.
Solusinya bukan memotong kartu kredit --- tapi memotong ilusi.
Kartu plastik itu tak berbahaya; yang bahaya adalah jari kita yang gatal dan logika yang kalah romantis.
Gunakan kartu seperti kamu mencintai seseorang: tahu kapan cukup, kapan berhenti, dan kapan sadar bahwa rasa nyaman bukan berarti sehat.

Jadi, wahai para pejuang limit dan cicilan,
jangan lagi biarkan dirimu terjerat dalam hubungan yang manis di awal tapi getir di akhir bulan.
Cinta sejati --- dan keuangan sehat --- sama-sama butuh batas, komitmen, dan kesadaran diri.
Karena pada akhirnya, bunga yang paling indah bukan yang di tagihan, tapi yang tumbuh dari rasa syukur tanpa utang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun