Lihat ke Halaman Asli

Pulanglah Sebelum Semua Hilang

Diperbarui: 1 Juni 2019   23:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Album kenangan di malam gerimis, seakan mengirimkan beku pada dinginku yang ingin pulang, Lamat terngiang dering menyentak rutinitas di sebuah pusat perkantoran mentereng pusat kota. Aku ingat kala itu agak  enggan mengangkat telepon, karena  selalu rapat sebelum sisa pagi menghilang. Mak, itu yang tertulis di layar. Pasti hal yang membuatku susah memilih antara pulang atau bertahan pada rutinas di selasar rindu. Mak seperti biasa menanyakan apakah aku pulang lebaran ini. Antara ragu dan yakin akan berbuah tangis, selalu kuputuskan dengan kata "tidak" yang halus.

Aku menangkap suara sengau di seberang, pertanda ada yang terbit di mata, karena kehilangan si anak sibiran tulang. Yang diasuh dan dininabobokkan, sampai malam mengirim ke peraduan. Segala tingkah-polah hanya disimpan di dalam dada. Telaten meramu rasa di meja makan agar selera itu tak sekedar singgah, tapi memantrai aku agar selalu teringat kidung meja makan, sampai waktu dan jarak menggerus  alpa.

Mak sengaja berpikir, mungkin selalu berpikir, bahwa kata "tidak" itu seharusnya bertangkai. Mungkin satu hari menjelang lebaran, aku akan mengatakan segera pulang. Kutahu dia tak hanya menyiapkan ruang agar aku bisa menikmati lelap seperti dulu, sebelum kota membuatku sering terjaga dan insomnia. Masih pula dia setia meniup hangat rasa di tungku, menyeduhkan kemesraan dalam daging dan kuah, ketika sambal itu memedaskan ingat. Mak memang perempuan yang memiliki ribuan tangan, sehingga tanpanya aku selalu merasa ada yang kurang, sebelum rutinitas dunia menghilangkan akal sehat bahwa aku sengaja menghilangkan kunci surga yang disimpan diam-diam di bawah telapak kakinya.

Mak, seperti emak-emak lain, akan berdiri di ambang pintu, seperti menunggu datangnya keputusasaan. Semoga ada keajaiban yang muncul di ujung jalan, anak lelakinya yang hilang. Mak bagaikan menanti kekasih yang hanya bisa berjanji, tanpa berusaha menautkan nyata. Kehadiran anak baginya lebih  berharga dari emas-permata, apalagi dari wessel-wessel yang dikirim berkala, sangat tak punya arti apa-apa. 

Dia tak hirau akhirnya harus menjadi kuda beban, saat pagi baru merangkak, mencari mantra di pasar, agar dia berhasil menciptakan rayuan meja makan berasa kampung, pada perutku yang tebal rasa kota, kepalsuan, imitasi, dan tipu-daya.

"Pulanglah selagi jasad masih bernyawa." Sebenarnya itu gambaran tangis Mak. "Sebelum usia berserah pada maut. Sebelum sesal telah menjadi kesal, dan buah rasa sial." Mungkin Mak melanjutkan demikian.

Setelah sekarang tak ada dering itu, selain album. Tak ada sapa itu selain aku tak punya tempat kepulangan. Aku akan tersesat, sebab hanya menemukan pusara.

Kau tahu, betapa sedih terasa. Betapa larat percuma. Pada tubuh tua itu. Pada berkah renta seorang Mak, aku masih bisa bersandar. Jiwa yang lemah terasa gagah selama masih ada Mak. Tapi, ketika hanya album kenangan itu yang bisa diajak membaca masa, aku selalu gamang dalam dunia. Aku teramat sering doyong tanpa pegangan. Desir semangat itu kerap berganti desah kegagalan.

Dan kuharap padamu. Tafakurlah sejenak. Puaskan sedih menjelma tangis. Ketika emak masih ada, meski tak selamanya mudik itu bisa berdamai, pulanglah. Sudah terlalu lama aroma kota membuat hatimu keras sekeras baja. Berusahalah mencari jalan pulang bagi petualang. Saat kau sering bermain ke hilir, ingatlah  ke muara. Karena di sanalah tunas itu tumbuh. Di sanalah benih itu dipupuk agar dapat besar.

Aku hanya dapat menahan tangis ketika menulis ini. Tak ada tujuanku apakah ini hanya akan membuatmu bersedih, dan besok lusa kau lupa. Riang seperti sediakala.  Sisihkanlah hasil keringatmu demi merasai nikmat bertarung di angkutan massa. Temukan kunci surga yang kau hilangkan. Bukalah harum surgawi pada telapak itu.

Tak perlu kau berpikir akan risiko mudik. Mudik itu perjuangan mengumpulkan keping-keping kenangan yang masih tersisa. Seumur hidup memang kau harus berjuang. Bila berjuang, kau masih berada di alam fana. Enggan berjuang, mungkin kau sudah dekat ke alam baka. Apakah kau ingin apa yang kurasakan terjadi pula kepadamu? Setelah pulang itu akan mengajarimu supaya tersesat pada pusara? Kau akhirnya hanya menemui penanda nisan, yang tak bisa kau ajak bicara. Putuskanlah pulang sebelum sesal itulah yang pulang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline