Kita hidup di zaman ketika batas ruang dan waktu dalam komunikasi hampir hilang. Menonton drama Korea, belanja barang impor, atau ngobrol dengan teman di belahan dunia lain kini semudah menyentuh layar ponsel. Globalisasi membuat dunia seakan menyusut, jarak ribuan kilometer bisa dilompati hanya dalam hitungan detik.
Tapi, derasnya arus komunikasi global tidak datang sendirian. Ada kapitalisme yang ikut mewarnai. Iklan berseliweran di media sosial, promosi daring yang tak ada habisnya, hingga tren konsumtif yang dipopulerkan influencer. Semua itu menunjukkan bahwa komunikasi hari ini bukan sekadar soal bertukar pesan, melainkan juga soal bisnis dan pasar. Pertanyaannya, apakah kita rela hanya jadi konsumen tren global, atau mampu menjadikan komunikasi sebagai alat untuk memperkuat jati diri bangsa?
Arus globalisasi membuka peluang luar biasa. Kita bisa belajar, bekerja, bahkan berkolaborasi lintas negara tanpa perlu meninggalkan rumah. Komunikasi menjadi lebih cepat, praktis, dan mendunia. Namun, di sisi lain, derasnya budaya luar yang ikut masuk sering kali membuat generasi muda lebih mengenal budaya asing ketimbang tradisi sendiri. Kalau tidak hati-hati, keterhubungan global bisa mengikis keunikan lokal yang seharusnya jadi kekuatan bangsa.
Kapitalisme memperlihatkan sisi lain. Dengan semangat persaingan, media dan platform digital ramai-ramai mengedepankan iklan dan promosi. Aliran informasi sering lebih dikendalikan oleh kepentingan ekonomi dibanding nilai edukatif. Meski begitu, peluang baru juga terbuka seperti lahirnya profesi content creator, influencer, hingga pakar digital marketing. Komunikasi bukan hanya alat tukar informasi, melainkan sumber penghasilan bagi banyak orang.
Baik globalisasi maupun kapitalisme ibarat dua sisi mata uang, artinya bisa memberi manfaat juga sekaligus memunculkan risiko. Kita memperoleh kecepatan informasi, akses global, dan peluang ekonomi, tetapi juga menghadapi tantangan berupa budaya lokal yang makin terpinggirkan serta gaya hidup konsumtif yang makin kuat.
Di sinilah pentingnya sikap kritis. Komunikasi harus dimaknai bukan hanya sebagai alat mengejar tren atau keuntungan, tetapi juga sebagai ruang untuk melestarikan identitas bangsa. Jika arus global dikelola dengan bijak, kita bisa tetap modern tanpa kehilangan akar budaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI