Lihat ke Halaman Asli

Rani Febrina Putri

Bachelor of Food Technology | Fiction Enthusiast |

Desember yang Terluka

Diperbarui: 1 Desember 2024   21:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : unsplash.com/AlecDouglas

     

     Kalender di dinding menunjukkan tanggal berukuran besar, tiga puluh satu Desember. Ibu yang sedang sibuk menyetrika pakaian di ruang tengah melirik sekilas ke kalender lalu menghela napas panjang. Aku yang sedang memasak nasi pun ikut menghela napas sambil mencolokkan kabel rice cooker.

     "Libur tahun baru enaknya ngapain ya, Nak?"

     Aku berpura-pura berpikir, padahal sudah tahu akan menjawab apa. "Makan gorengan yang masih hangat, Bu," kataku sambil menatap Ibu.

     "Kenapa hanya makan gorengan?" tanya Ibu. Keheranan telah berhasil hinggap di dahinya yang mengernyit sempurna. Aku hanya tertawa dan menaikkan bahu. Aku harap, Ibu akan tahu sendiri jawabannya.

***

     Desember datang lagi. Begitupun, aku. Masih setia mendatangi Ibu. Tetapi, Ibu belum berubah. Tawanya masih hambar, senyumnya apalagi. Ia hanya berusaha menutupi luka-lukanya yang tak jua mengering. Padahal kemarau sudah berlalu, kini hujan menjadi teman sehari-hari Ibu. Barangkali selain aku, hujan lah yang menjadi saksi betapa kerasnya Ibu terhadap dirinya sendiri. Luka-luka yang belum kering itu, mungkin kini terasa makin perih karena rembesan hujan telah sampai pada bagian luka paling dalam di hatinya. Aku tahu pasti itu. Aku bisa membacanya, karena mungkin, akulah penyebab luka itu, atau mungkin akulah luka itu.

     Seperti sore ini, gerimis jatuh di seluruh kota. Ibu bergegas pulang dari kantornya, menaiki ojek online dengan jas hujan plastik berwarna biru muda. Sepatu hak tingginya basah terkena cipratan genangan air di jalanan, juga gerimis yang kian menjadi hujan. Kemeja kantor yang tadinya rapi, kini kusut dan basah di bagian bahu dan lengannya karena jas hujan tidak menutupinya secara sempurna. Tetapi bukan itu yang membuat Ibu terlihat amat kacau sore ini. Aku membaca kekacauannya dari sudut yang lain.

     Ibu tersenyum dan berterima kasih pada driver ojek online saat tiba di gerbang rumah yang kini catnya banyak yang mengelupas dan berganti karat. Ibu berlari kecil ke teras, kemudian melepas jas hujannya. Terdengar helaan napas panjang sembari ia melepas sepatunya. Brownie menyapa Ibu yang membuka pintu rumah. Ia mengeong, meminta makan, padahal belum waktunya makan malam. Barangkali dia juga seperti kita, yang terkadang merasa lapar ketika hujan.

     Setelah memberi makan Brownie, Ibu bergegas mandi. Sambil menunggu Ibu mandi, aku sudah tahu apa yang akan dia lakukan. Ibu akan mencuci baju, menyetrika, mencuci piring, menyapu, mengepel, lalu memasak untuk makan malam. Tidak terlalu banyak pekerjaan, namun Ibu selalu begitu. Seolah tak ada waktu untuk bersantai sejenak, atau barangkali bukan perihal ada dan tiada waktu itu, tetapi perihal mau atau tidaknya Ibu bersantai. Dari perangai yang kuamati kurang lebih hampir setahun ini, Ibu tentunya tidak mau bersantai. Baginya, waktu santai itu justru akan membuatnya merasakan luka itu. Aku tahu betul bagaimana rasanya menyibukkan diri untuk menepis kesedihan, masalah, dan kerumitan hidup. Di usiaku yang hampir menginjak 20 tahun awal kala itu, adalah masa-masa puncak aku merasakan itu. Ibu tak lagi semuda dulu, tetapi jiwanya yang selalu ingin produktif masih saja melekat. Aku tidak masalah asalkan itu membuatnya nyaman. Tetapi, jika luka yang berusaha Ibu tutupi itu adalah aku, bagaimana aku bisa tenang melihatnya menderita sendirian seperti itu?

     Namun, ternyata hari ini berbeda. Aku terheran-heran, begitu juga Brownie di sudut ruang makan yang sedang tidur-tiduran karena kekenyangan. Ia mengeong melihat Ibu memasak sesuatu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline