Dalam dunia musik Timur Tengah yang kaya warna dan nuansa, ada satu alat berdawai yang mampu berbicara langsung kepada jiwa manusia: Setar. Instrumen ini bukan sekadar alat musik, melainkan jembatan antara dunia nyata dan alam batin.
Bagi masyarakat Persia, Setar menjadi simbol keheningan, refleksi, dan ekspresi spiritual yang mendalam. Di tengah derasnya arus modernisasi dan kebisingan teknologi, Setar tetap menawarkan ruang hening, sebuah tempat di mana suara hati dapat terdengar jernih.
Sebagai instrumen utama dalam sistem modal musik klasik Persia, Setar memiliki posisi istimewa. Ia bukan hanya penyalur nada dan ritme, tetapi juga pembawa pesan-pesan emosional dan spiritual yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Melalui denting lembut senarnya, Setar mengajarkan bahwa keindahan sejati sering kali muncul dari kesederhanaan, dan bahwa musik tidak selalu perlu keras untuk menyentuh hati.
Sejarah dan Evolusi Setar
Nama “Setar” berasal dari dua kata dalam bahasa Persia: se berarti “tiga” dan tar berarti “senar.” Sesuai dengan namanya, pada awalnya Setar hanya memiliki tiga senar.
Namun pada abad ke-19, seorang musisi dan mistikus Sufi bernama Mushtaq Ali Shah menambahkan senar keempat untuk memperluas jangkauan ekspresi musikalnya. Penambahan ini kemudian menjadi standar dan mengubah Setar menjadi instrumen yang lebih dinamis dan kaya warna nada.
Secara bentuk, Setar memiliki badan kecil menyerupai buah pir dan leher panjang yang dilengkapi fret-fret halus yang dapat disesuaikan. Keempat senarnya terbuat dari logam tipis yang dimainkan dengan jari telunjuk tanpa menggunakan plektrum. Hasilnya adalah suara lembut, bening, dan intim seolah lahir langsung dari hati pemainnya.
Tidak seperti alat musik konser besar, Setar tidak diciptakan untuk mengisi aula pertunjukan atau stadion megah. Ia justru dirancang untuk ruang yang tenang dan pribadi: kamar, taman, atau majelis spiritual. Dalam suasana seperti itulah keindahan sejati Setar terasa penuh keheningan, kedalaman, dan kedekatan emosional.
Setar dalam Sufisme: Musik sebagai Jalan Menuju Ilahi
Bagi kaum Sufi, musik bukan sekadar hiburan, melainkan jalan menuju Tuhan. Dalam tradisi ini, Setar menjadi sarana untuk menumbuhkan kesadaran spiritual dan mencapai kondisi fana, yaitu lenyapnya ego dalam kehadiran Ilahi. Denting senarnya yang lembut sering mengiringi zikir, pembacaan puisi Rumi, atau meditasi batin yang mendalam.
Bagi seorang pemain Sufi, memainkan Setar bukanlah soal teknik atau kecepatan. Itu adalah bentuk ibadah, proses untuk melepaskan kontrol pribadi dan membiarkan musik mengalir dengan sendirinya, sebagai cerminan kehendak Tuhan. Setiap getaran senar menjadi doa yang tak diucapkan, setiap nada adalah langkah menuju keheningan batin.