Dokumenter The New Rulers of the World karya John Pilger kembali mengungkap realitas pahit tentang dominasi ekonomi global terhadap negara berkembang, termasuk Indonesia. Film ini membahas bagaimana korporasi multinasional dan kekuatan Barat mengendalikan sumber daya negara-negara dunia dengan dalih investasi. Salah satu contoh nyata dari fenomena ini adalah pengelolaan tambang Grasberg di Papua oleh PT Freeport Indonesia.
Selama puluhan tahun, kekayaan emas dan tembaga yang terkandung di perut bumi Papua lebih banyak menguntungkan perusahaan asing dibandingkan masyarakat lokal. Meskipun pemerintah Indonesia telah mengambil alih saham mayoritas Freeport pada 2018, berbagai tantangan masih menghambat upaya mencapai kedaulatan ekonomi yang sesungguhnya.
Indonesia dan Warisan Ekonomi Orde Baru
Sejak 1967, pasca-kejatuhan Presiden Sukarno, Indonesia memasuki era baru yang ditandai dengan masuknya investasi asing secara besar-besaran. Pilger dalam dokumenternya mengungkap bagaimana sebuah konferensi rahasia di Jenewa yang disponsori oleh The Time-Life Corporation merancang peta ekonomi Indonesia di bawah kendali investor global.
Akibatnya, berbagai sektor strategis seperti minyak, gas, dan pertambangan dikuasai oleh perusahaan asing. Pemerintah yang saat itu membutuhkan modal pembangunan memberikan berbagai kemudahan bagi investor, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kedaulatan ekonomi nasional.
Salah satu hasil dari kebijakan tersebut adalah penguasaan tambang Grasberg oleh Freeport-McMoRan, perusahaan tambang asal Amerika Serikat yang mendapat izin eksploitasi sejak 1967. Meskipun Indonesia memiliki sumber daya melimpah, keuntungan lebih banyak mengalir ke luar negeri, sementara masyarakat Papua tetap hidup dalam kemiskinan.
Tambang Freeport: Ketimpangan di Balik Kekayaan Alam
Di tengah pertamanan pegunungan Papua yang megah, Tambang Grasberg berdiri sebagai salah satu tambang emas dan tembaga terbesar di dunia. Selama lebih dari lima dekade, tambang ini telah menghasilkan keuntungan triliunan rupiah, namun ironisnya, kesejahteraan masyarakat setempat masih jauh dari kata sejahtera. Kekayaan alam yang seharusnya menjadi berkah bagi Papua justru menjadi sumber ketimpangan dan konflik yang tak kunjung usai.
Keberadaan Freeport di Indonesia sejak 1967 menjadi simbol bagaimana sumber daya alam dikuasai oleh korporasi asing dengan sedikit manfaat bagi negara dan rakyatnya. Meskipun pada 2018 pemerintah Indonesia berhasil mengambil alih 51% saham Freeport, banyak pihak mempertanyakan apakah ini benar-benar kemenangan atau hanya formalitas belaka.
- Keuntungan yang Tidak Proporsional : Sebelum nasionalisasi pada 2018, Indonesia hanya menerima royalti sebesar 1% hingga 3,75% dari pendapatan Freeport. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan keuntungan besar yang diraup oleh Freeport-McMoRan, perusahaan induknya yang berbasis di Amerika Serikat. Selama bertahun-tahun, kekayaan yang dihasilkan dari perut bumi Papua lebih banyak mengalir ke luar negeri dibandingkan masuk ke kas negara. Hal ini mencerminkan ketimpangan dalam perjanjian bisnis yang dibuat pada masa Orde Baru, di mana kepentingan asing lebih diutamakan dibandingkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Setelah pengambilalihan saham oleh pemerintah, Indonesia memang memperoleh porsi keuntungan yang lebih besar, tetapi pertanyaan besar masih menggantung: apakah rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Papua, benar-benar mendapatkan manfaat yang seharusnya?