Di Seberang Kali Nurani: Tiga Wajah Kemanusiaan dalam Senyum Karyamin (Bagian Terakhir)
"Kadang, kemuliaan tak bersemayam di balik gelar dan rupa, melainkan dalam hati yang tetap bening di tengah keruh dunia."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pernahkah kita menyeberangi "kali" batin sendiri---menatap orang lain dari seberang hidup kita, sambil tanpa sadar memisahkan yang "beriman" dan yang "tersesat"? Dalam cerpen-cerpen Ahmad Tohari, batas itu hadir bukan hanya dalam wujud sungai atau jalan, melainkan dalam nurani yang diuji oleh empati. Kumpulan cerpen Senyum Karyamin (Gramedia, 1989) menjadi ladang subur untuk menanamkan renungan tentang martabat manusia di tengah realitas sosial yang keras.
Ahmad Tohari, dengan gaya bahasa yang sederhana namun menyala, menyulam realisme pedesaan dan spiritualitas menjadi satu napas. Ia menulis bukan untuk menasihati, melainkan untuk menyingkap wajah kemanusiaan yang kerap kita abaikan: para botoh, orang "gila", pengemis---yang di tangan Tuhan justru tampak paling dekat dengan kejujuran batin. Tak heran, karya-karyanya masih relevan ketika kita berbicara tentang moral publik dan empati sosial hari ini.
Tiga cerpen dari kumpulan Senyum Karyamin---Orang-orang Seberang Kali, Wangon Jatilawang, dan Pengemis dan Shalawat Badar---menjadi cermin kecil dari dunia besar kita: dunia yang sering lupa bahwa iman dan kemanusiaan bukan perkara penampilan, tapi pilihan batin.
Sinopsis Umum
Dalam Orang-orang Seberang Kali, Tohari membawa kita ke desa yang dipisahkan oleh sungai kecil, tempat dua cara hidup bersisian. Di satu sisi, masyarakat religius dan tertib; di sisi lain, dunia yang liar dengan sabung ayam dan taruhan. Namun batas air itu ternyata rapuh, karena di baliknya tersimpan tragedi manusia bernama Madrakum---botoh yang mati dua kali, sekali sebagai manusia, sekali sebagai ayam jago.
Berikutnya, Wangon Jatilawang memperlihatkan potret tragis Sulam, si "orang gila" yang justru paling murni hatinya. Ia hidup dalam tatapan sinis, namun matinya menggetarkan nurani orang-orang waras yang telah kehilangan makna kasih. Cerita ini berakhir dengan rasa sesal yang menyesap, seperti debu di antara dua kecamatan kecil yang menutup jalan pulang bagi hati yang terlambat berempati.