Menyelami Jejak Politik Baru di Ranah Minang: Menimbang Kepemimpinan Taufiqur Rahman dalam Perspektif Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
Oleh: Deddi Ajir
Kabar terbaru dari Ranah Minang, tentang putra Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah, Taufiqur Rahman, yang resmi menahkodai Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sumatera Barat, bukan hanya sekadar pergantian posisi atau dinamika politik biasa. Ia adalah sebuah pertanda pergulatan nilai yang tengah berlangsung di masyarakat Minangkabau, antara modernitas yang mengalir deras dengan akar budaya dan agama yang menjadi pondasi teguh kehidupan masyarakat.
Masyarakat Minangkabau, dengan filosofi hidupnya yang terkenal, yaitu Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), menjadikan adat dan agama sebagai dua pilar utama yang tidak dapat dipisahkan. Prinsip ini bukan hanya slogan kosong, melainkan pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari, membangun tatanan sosial, dan mengambil keputusan---termasuk dalam bidang politik dan kepemimpinan.
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah: Pilar Kehidupan Minangkabau
Falsafah ABS-SBK mengandung makna mendalam bahwa adat atau tradisi lokal tidak berdiri sendiri, melainkan berlandaskan pada syariat Islam yang bersumber pada Kitabullah (Al-Qur'an). Sebaliknya, syariat yang diterapkan juga harus sesuai dengan konteks budaya setempat agar tetap hidup dan relevan. Dengan demikian, nilai-nilai agama dan budaya saling menguatkan, meneguhkan, dan menjaga keharmonisan masyarakat.
Ketika kita melihat penunjukan Taufiqur Rahman sebagai Ketua PSI Sumbar, ada dinamika yang menarik untuk direnungkan. PSI adalah partai yang relatif baru dan lebih progresif, bahkan dalam beberapa hal bisa dianggap lebih sekuler dibandingkan partai-partai berbasis agama tradisional seperti PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang selama ini identik dengan konservatisme Islam di Indonesia. Taufiqur sendiri diketahui sebelumnya berafiliasi dengan PKS, sehingga langkah berpindah ke PSI tentu menjadi sorotan.
Pergeseran Ideologi dan Tantangan Adaptasi
Pergantian haluan politik ini bisa dilihat sebagai gambaran bagaimana generasi muda Minangkabau, terutama yang terlibat dalam dunia politik, berusaha mencari titik keseimbangan antara nilai-nilai tradisional dengan tuntutan zaman. Di satu sisi, mereka ingin mempertahankan akar dan warisan budaya agama yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Di sisi lain, mereka juga berkeinginan membawa perubahan dan pembaruan yang dinamis sesuai dengan perkembangan nasional dan global.
Dalam konteks ABS-SBK, pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana prinsip itu akan dijaga dan diterapkan di tengah perubahan ideologi dan afiliasi politik tersebut. Apakah pergeseran ini berarti meninggalkan syariat atau adat? Atau justru membuka ruang agar keduanya dapat diinterpretasikan secara lebih fleksibel dan kontekstual tanpa kehilangan esensi?
Menjaga Keseimbangan antara Tradisi dan Modernitas