Lihat ke Halaman Asli

Putra Dewangga

Content Writer di SURYA.co.id

Ketika Gajah Menjadi Guru Perdamaian Desa

Diperbarui: 15 September 2025   16:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Hubungan Manusia dan Gajah (Sumber: Gemini AI)

Malam itu, desa di pinggiran hutan Sumatera mendadak riuh. Lampu-lampu minyak dinyalakan tergesa, orang-orang berteriak saling memanggil, dan suara dentuman terdengar dari ladang. Pagi tadi, padi masih menguning menunggu panen, tetapi kini batang-batangnya porak-poranda, diinjak oleh kawanan gajah yang mencari makan.

Di balik keheningan malam, ada rasa takut yang sulit dihapus. Beberapa warga mengunci diri di rumah, khawatir gajah akan menerobos lebih jauh. Anak-anak bersembunyi di balik tubuh ibunya. Di langit, hanya bulan yang menjadi saksi ketegangan itu.

Pertanyaannya sederhana, namun menggema di hati setiap orang yang menyaksikan: Apakah manusia dan gajah memang ditakdirkan untuk saling mengusir? Apakah harmoni hanya sebuah utopia di tengah hutan yang terus menyusut?

Konflik Gajah-Manusia

Fakta menunjukkan, konflik ini bukan peristiwa tunggal. Dalam dua dekade terakhir, kasus gajah masuk kampung meningkat drastis di Sumatera dan Kalimantan. Akar masalahnya jelas: hutan yang dulu rumah bagi gajah kini berubah menjadi perkebunan sawit, jalan, dan permukiman. Jalur jelajah gajah yang bisa mencapai puluhan kilometer terputus, memaksa mereka mencari makan di ladang warga.

Akibatnya, kerugian ekonomi tak terelakkan. Hasil panen hancur, kebun rusak, rumah warga kadang ikut terdampak. Tidak sedikit pula nyawa melayang, baik dari pihak manusia maupun gajah. Bagi sebagian besar warga desa, gajah bukan lagi "satwa karismatik" yang diagungkan, melainkan "momok" yang menakutkan. Trauma kolektif ini membuat relasi manusia-gajah semakin rapuh.

Di tengah rasa takut dan kerugian yang menumpuk, warga desa akhirnya menyadari: melawan gajah dengan kekerasan hanya akan memperburuk keadaan. Beberapa kali, upaya mengusir dengan petasan atau senapan rakitan justru membuat gajah makin agresif. Ada pula kisah pahit, seekor gajah muda mati terkena jerat besi. Alih-alih lega, warga justru dihantui penyesalan.

Dari pengalaman pahit itu, lahirlah kesadaran baru: harus ada cara lain, cara yang lebih manusiawi, untuk menjaga jarak tanpa merenggut nyawa.

Maka, warga desa mulai mencari solusi kreatif. Mereka menggali kembali pengetahuan lokal yang hampir dilupakan: sistem alarm bambu tradisional. Caranya sederhana namun efektif. Bambu dipasang di beberapa titik ladang, dirangkai dengan tali, sehingga ketika gajah melewati jalurnya, bambu akan saling berbenturan dan menghasilkan bunyi nyaring. Suara itu bukan untuk menyakiti, melainkan sebagai peringatan dini bagi warga dan sinyal pengalih arah bagi gajah.

Selain itu, beberapa petani menanam tanaman penghalau alami seperti cabai, jahe, atau serai di pinggir ladang. Gajah, yang penciumannya sangat tajam, cenderung menghindari aroma menyengat dari tanaman-tanaman ini. Perlahan, batas "wilayah" tercipta tanpa harus menebang pohon atau merusak ekosistem.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline