Kami delapan bersaudara. Ditambah Bapak, Ibu, Bulik, dan Eyang---jumlahnya genap dua belas orang. Setiap akhir pekan, kami berkumpul di meja makan besar yang dibuat sendiri oleh Bapak: dua lembar tripleks disambung jadi satu, supaya semua bisa duduk bersama.
Tak ada meja makan yang lebih besar dari itu, setidaknya dalam ingatan masa kecilku.
Makan Adalah Ritual, Bukan Ajang Bicara
Dalam tradisi Jawa yang kami anut, bicara saat makan dianggap tidak pantas---ora ilok. Maka meja makan menjadi ruang sunyi yang hanya dipenuhi suara sendok, piring, dan sesekali tawa kecil dari Eyang yang duduk di ujung meja.
Kami makan dengan tertib, nyaris seragam. Tak ada celoteh, apalagi adu argumen. Bahkan anak-anak seperti kami, yang biasanya penuh letupan cerita, pun ikut dalam keheningan itu. Bukan karena takut, tapi karena begitulah adat yang ditanamkan: makan harus sopan, dan sopan berarti diam.
Setelah Makan, Saatnya Sidang Keluarga
Selesai makan, barulah mulut dibuka. Bapak duduk lebih tegak, dan suasana berubah seperti rapat evaluasi bulanan. Kami satu per satu melaporkan perkembangan sekolah. Nilai, disiplin, prestasi, kadang juga kelakuan nakal yang tanpa sadar sudah dilaporkan duluan oleh Ibu.
Bapak memberikan penilaian. Tegas. Dingin. Kadang dengan reward, lebih sering dengan nasihat keras. Ibu menimpali sesekali---lebih ke laporan harian rumah tangga: siapa yang bangun kesiangan, siapa yang membantu Bulik di dapur, siapa yang berantem rebutan mainan.
Eyang sesekali tertawa---tidak pernah ikut menghakimi. Hanya menepuk punggung kami satu per satu, seperti hendak berkata, "Kalian tetap cucuku, nakal atau tidak."
Sementara Bulik tetap berjaga: memastikan teh hangat tersaji, lauk tidak habis, dan meja tetap bersih. Ia seperti logistik handal di tengah drama kecil setiap akhir pekan itu.