Perjalanan kami di kawasan Trowulan berlanjut ke tempat yang lebih tenang, jauh dari keramaian wisata utama  Candi Gentong. Dari jalan besar, jalurnya sedikit berkelok melewati perkampungan, sawah, dan kebun tebu. Semakin mendekat, suasana terasa semakin sunyi, seolah waktu melambat untuk memberi ruang pada keteduhan.
Candi Gentong tidak sebesar Candi Brahu atau Bajang Ratu. Bangunannya bahkan tak sepenuhnya utuh, namun justru di situlah daya tariknya. Di tengah area lapang, tampak tumpukan bata merah tersusun dalam bentuk pondasi persegi, dengan beberapa bagian candi yang masih berdiri setengah badan. Rumput hijau tumbuh lembut di sekelilingnya, menambah kesan damai dan alami.
Petugas di lokasi bercerita bahwa Candi Gentong merupakan bagian dari kompleks candi-candi masa akhir Majapahit. Konon, di sekitar sini dulunya terdapat dua candi lain bernama Candi Gedong dan Candi Tengah  namun kini hanya tersisa reruntuhannya. Nama "Gentong" sendiri muncul dari penemuan wadah batu berbentuk gentong di sekitar area penggalian. Diperkirakan, tempat ini dulu berfungsi sebagai situs pemujaan atau mungkin tempat penyimpanan benda-benda suci.
Kami berjalan pelan di antara sisa batu bata yang masih tersisa. Setiap langkah terasa ringan, tapi ada rasa hormat yang dalam. Di tempat yang sunyi ini, tidak ada hiruk pikuk wisata, hanya angin yang berhembus pelan dan suara serangga dari semak. Candi Gentong terasa seperti halaman terakhir dari kisah panjang Majapahit sederhana, tapi penuh makna.
Saya sempat duduk di bawah pohon besar di sisi pelataran, memandangi sisa dinding bata yang kini sebagian ditelan tanah. Di balik kesunyiannya, Candi Gentong seolah mengajarkan sesuatu: bahwa kebesaran tidak selalu harus tampak megah. Kadang, justru dalam keheningan dan kesederhanaanlah sebuah warisan bisa bertahan paling lama.
Menjelang sore, sinar matahari menembus sela dedaunan, memantulkan warna bata yang kemerahan di atas rerumputan. Candi Gentong berdiri dalam diam, tapi terasa hidup di dalam hati. Di sinilah, perjalanan kami di Trowulan seperti menemukan penutup yang pas  tenang, lembut, dan penuh rasa syukur atas sisa-sisa peradaban yang masih setia menjaga kisahnya.
Â
Â
Â