"Kamu ambil akuntansi saja, ya. Jangan seperti Bapak, nanti susah mencari uang."
Kalimat itu masih terngiang jelas di kepalaku, meski waktu sudah berjalan jauh sekali dari ruang kelas SMA yang penuh kegalauan.Â
Saat itu, aku sedang mengisi formulir pendaftaran PMDK. Pak Pang aku memanggilnya, guru Bahasa Indonesiaku yang tiba-tiba berdiri di sampingku sambil tersenyum samar, seolah menimbang antara realita dan cita-cita.
Beliau lalu menambahkan,
"Kalau jadi guru Bahasa Indonesia, kerjanya begini-begini saja. Nggak bisa ngelesin seperti guru-guru lain."
Aku hanya diam. Dalam hati, aku ingin sekali berkata,
"Bahasa Indonesia itu keren Pak."
Ya, menurutku yang sedari dulu sudah jatuh cinta pada dunia kata dan tulisan, Bahasa Indonesia itu memang keren. Rangkaian katanya bisa menjelma menjadi cerita indah, puisi, pantun, majas, bahkan gaya satir hingga yang lucu sekalipun. Dengan bahasa, kita bisa menciptakan berbagai rasa, tergantung apa yang ingin kita sampaikan.
Tapi aku paham, Bapak tidak sedang meremehkan cita-citaku. Ia hanya ingin muridnya hidup lebih baik dari dirinya.
Kini, bertahun-tahun berlalu, aku baru benar-benar mengerti maksud Bapak. Pada akhirnya, aku memang tidak ahli dalam Bahasa Indonesia. Aku mengikuti saran Bapak dan aku diterima di jurusan akuntansi, lulus sebagai sarjana ekonomi.