Ada satu kata yang sering diucap namun jarang benar-benar dipahami: ikhlas. Ia sederhana dalam pelafalan, tetapi rumit dalam penerapan. Dalam hati manusia yang sering bergejolak, ikhlas adalah tamu yang tak mudah singgah. Ia datang hanya pada jiwa yang tenang, lalu menetap di relung yang tak lagi dipenuhi oleh tuntutan pengakuan.
Ikhlas bukan berarti tak merasa sakit, bukan pula meniadakan kecewa. Justru dalam perasaan yang retak itu, seseorang belajar untuk tidak menjadikan balasan sebagai alasan. Ia memberi karena cinta, bukan karena ingin dicintai kembali. Ia menolong karena ingin meringankan, bukan karena ingin disebut dermawan. Di sanalah letak kebeningannya---sebuah niat yang berdiri sendiri, tak bergantung pada sorot mata manusia.
Dalam perjalanan hidup, sering kali kita diuji oleh hal-hal yang menggores ego. Saat kebaikan dibalas dingin, atau pengorbanan dilupakan tanpa jejak, di situlah hati diuji untuk tetap lapang. Ikhlas mengajarkan bahwa setiap perbuatan tak perlu disimpan di dalam catatan manusia, sebab Tuhan memiliki catatan yang lebih jujur. Ia tahu siapa yang memberi tanpa pamrih, siapa yang mencintai tanpa menuntut.
Namun ikhlas bukan berarti pasrah tanpa arah. Ia bukan bentuk kelemahan, melainkan kekuatan yang lembut. Orang yang ikhlas mampu berjalan di tengah badai tanpa kehilangan ketenangan. Ia tak lagi sibuk menimbang siapa yang benar atau salah, karena yang ia kejar bukan pembenaran dunia, melainkan ketenangan jiwa.
Banyak orang mengira bahwa ikhlas adalah hasil dari kesabaran. Padahal sebaliknya, sabar lahir dari ikhlas. Saat hati sudah menerima dengan tulus, kesabaran tumbuh tanpa dipaksa. Tidak lagi ada keluh di balik pengorbanan, tidak pula dendam di balik luka. Yang tersisa hanyalah keyakinan: bahwa setiap kehilangan adalah bagian dari rencana yang lebih indah.
Ikhlas pun tak dapat diajarkan lewat kata-kata. Ia harus dilalui, dijatuhkan, lalu dipungut kembali dari serpihan pengalaman. Mungkin dari doa yang tak kunjung dikabulkan, dari cinta yang tak berbalas, atau dari kerja keras yang tak dihargai. Dalam semua itu, seseorang belajar bahwa memberi tanpa mengharap adalah bentuk tertinggi dari kedewasaan hati.
Di dunia yang riuh oleh pamrih, menjadi ikhlas adalah bentuk perlawanan paling sunyi. Tak perlu disiarkan, tak butuh sorotan. Cukup disimpan di dalam dada, karena keindahan sejati tidak perlu pembuktian. Orang yang ikhlas akan tampak biasa di mata manusia, tapi bercahaya di hadapan Tuhan.
Dan pada akhirnya, ikhlas bukan tentang melupakan, melainkan tentang berdamai. Ia adalah seni melepaskan tanpa kehilangan makna, seni mencintai tanpa menggenggam. Sebab ketika hati benar-benar ikhlas, segala yang pergi tak lagi menyakitkan, dan segala yang datang terasa sebagai anugerah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI