Lihat ke Halaman Asli

Sahyul Pahmi

TERVERIFIKASI

Masih Belajar Menjadi Manusia

ATM, Jalangkote, dan Kurikulum Ibnu Sina

Diperbarui: 29 April 2025   11:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi: pixabay.com

Pagi itu, saya bergegas ke ATM. Bukan untuk menarik uang segunung atau mengecek saldo yang selalu bikin miris, tapi untuk mentransfer cicilan motor. Sebuah ritual bulanan yang, entah kenapa, selalu terasa menegangkan. Seolah-olah mesin ATM itu bisa membaca isi hati dan dompet saya yang sama-sama tipis.

Sampai di depan ATM, langkah saya dihentikan oleh ibu-ibu penjual jalangkote dan panada. Wajahnya ramah, senyum tulus, tangan cekatan membuka kotak berisi jajanan. Tanpa basa-basi, beliau menawarkan dagangannya.

"Jalangkote' nak? Panada' sekalian?"

Saya spontan mengiyakan. Sebungkus kecil jalangkote berpindah tangan, seperti semacam penebusan dosa karena terlalu sering lewat tanpa membeli.

Tapi bukan jalangkote itu yang bikin saya merenung. Pertanyaan yang menggelitik datang justru sesudahnya: Apakah ibu-ibu ini berpikir semua orang yang ke ATM pasti narik uang buat belanja?

Kalau iya, saya maklum. Logika sederhana: orang yang mampir ke ATM berarti ada duit, minimal cukup buat beli jalangkote. Tapi logika ini seperti kurikulum di banyak sekolah: terlalu yakin semua orang sama, padahal tidak semua orang datang untuk tujuan yang sama.

Saya berdiri di antrean ATM, sambil mengunyah jalangkote, pikiran melantur. ATM ini, jangan-jangan, mirip kurikulum pendidikan kita. Orang datang ke sini dengan tujuan berbeda: ada yang narik uang, ada yang transfer, ada yang cuma cek saldo, ada juga yang sekadar ngadem. Tapi mesinnya sama, tombolnya sama, rutenya sama.

Begitu juga kurikulum.

Anak-anak dari latar belakang berbeda, dengan minat dan potensi berbeda, dipaksa menempuh rute yang sama. Seolah-olah semua datang ke ATM buat narik uang.

Lalu saya ingat Ibnu Sina. Bukan karena beliau doyan jalangkote, tapi karena pandangan beliau soal kurikulum.

Ibnu Sina mengajarkan bahwa pendidikan itu seperti rute perlombaan: harus jelas, bertahap, dan sesuai dengan kesiapan pesertanya. Anak-anak tak bisa disamakan. Ada yang siap belajar qur'an, ada yang butuh belajar syair, ada yang baru perlu olah raga dan seni suara. Kurikulum itu rute, tapi bukan jalan tol yang seragam jalurnya. Harus ada tikungan, tanjakan, bahkan pit stop, sesuai usia, potensi, dan kondisi psikologis anak.

Tapi kurikulum kita? Lebih mirip jalur antre ATM. Satu jalur untuk semua, tanpa tanya dulu siapa mau ngapain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline