"Pernahkah kita memperhatikan bagaimana anak-anak zaman sekarang bisa bertahan selama berjam-jam duduk di depan layar, larut dalam dunia digital yang seakan tak berbatas?" Pertanyaan ini kerap muncul di tengah kekhawatiran banyak orang tua. Jika dulu permainan anak identik dengan kelereng, petak umpet, atau sepeda sore di halaman rumah, kini sebagian besar anak justru lebih memilih bermain dalam ruang virtual.
Salah satu permainan yang paling populer di kalangan mereka adalah Roblox. Platform ini bukan sekadar permainan biasa, melainkan dunia digital yang memungkinkan anak untuk mencipta, berinteraksi, sekaligus menjelajah imajinasi tanpa batas. Di tengah derasnya arus digitalisasi, screen time atau waktu yang dihabiskan anak di depan layar menjadi isu yang semakin diperbincangkan. Roblox sebagai salah satu platform yang paling banyak dimainkan anak usia 4--10 tahun, menghadirkan dilemma, di satu sisi, ia dianggap mampu mengasah kreativitas dan membuka ruang interaksi sosial, tetapi di sisi lain, penggunaan yang berlebihan berisiko mengurangi kualitas interaksi langsung di dunia nyata, bahkan memengaruhi kestabilan emosi. Usia 4--10 tahun sendiri merupakan fase emas dalam perkembangan psikososial, di mana anak mulai belajar mengenali perasaan, memahami perspektif orang lain, serta mengembangkan keterampilan bekerja sama. Jika fase ini terganggu oleh durasi layar yang berlebihan, tentu akan ada konsekuensi jangka panjang bagi pertumbuhan mereka.
Erik Erikson dalam teorinya mengenai psychosocial development menegaskan bahwa masa kanak-kanak awal hingga pertengahan merupakan periode penting bagi pembentukan rasa percaya diri, inisiatif, serta keterampilan sosial melalui interaksi dengan lingkungan sekitar. Pada rentang usia 4--10 tahun, anak berada dalam tahap initiative vs guilt serta industry vs inferiority, di mana keberhasilan mereka dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya dan lingkungan akan sangat menentukan kualitas perkembangan psikososial di tahap berikutnya. Jika kesempatan berinteraksi lebih banyak tergantikan oleh aktivitas layar yang bersifat pasif atau semu, maka risiko anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri di dunia nyata akan semakin besar. Hal ini sejalan dengan pendapat Vygotsky yang menekankan pentingnya social interaction dalam proses belajar anak, di mana bahasa, permainan, dan interaksi dengan orang lain menjadi alat utama untuk membangun pemahaman serta keterampilan sosial.
Sejumlah penelitian mutakhir memperlihatkan bahwa screen time yang tinggi dapat menggeser pola interaksi sosial anak. Dalam sebuah studi longitudinal yang melibatkan anak usia sekolah dasar di Amerika Serikat, Anderson et al. (2017) menemukan bahwa penggunaan layar lebih dari tiga jam per hari berhubungan dengan penurunan kemampuan komunikasi tatap muka serta keterampilan bekerja sama dalam kelompok. Anak-anak yang terbiasa menghabiskan sebagian besar waktunya di ruang digital cenderung lebih sulit mengekspresikan emosi secara langsung dan kurang responsif terhadap isyarat sosial dari orang lain. Kondisi ini penting diperhatikan karena pada usia 4--10 tahun, anak sedang berada dalam fase belajar mengenali perasaan diri, memahami perspektif teman sebaya, dan membangun ikatan emosional yang sehat. Jika ruang-ruang belajar ini terlalu sering tergantikan oleh interaksi virtual, maka pengalaman sosial yang seharusnya terjadi secara alami bisa berkurang, sehingga perkembangan psikososialnya tidak optimal. Anak-anak yang terlalu larut dalam permainan digital berpotensi mengalami penurunan kualitas regulasi emosi, yang berdampak langsung pada kemampuan mereka menjalin hubungan interpersonal. Lebih jauh, masalah tidur yang sering terjadi akibat durasi layar yang panjang dapat mengganggu ritme biologis anak, yang pada akhirnya memengaruhi kesehatan fisik maupun kesiapan mereka untuk berinteraksi secara sehat di dunia nyata. Temuan ini sejalan dengan kekhawatiran para peneliti bahwa jika screen time dibiarkan tidak terkontrol, konsekuensi jangka panjang yang muncul bukan hanya pada aspek akademik, tetapi juga pada pembentukan identitas sosial dan emosional anak di masa depan.
Roblox hadir sebagai salah satu platform permainan digital yang berbeda dari game konvensional. Bukan sekadar tempat bermain, Roblox menyediakan ruang di mana pengguna bisa menciptakan sendiri dunia virtual, merancang alur permainan, hingga berbagi karyanya dengan orang lain. Karakteristik ini menjadikan Roblox lebih mirip sebuah ekosistem sosial interaktif ketimbang hanya permainan tunggal. Anak-anak tidak hanya menjadi pemain pasif, melainkan juga berpotensi berperan sebagai kreator yang memanfaatkan imajinasi mereka untuk membangun pengalaman baru. Fitur ini memberi peluang besar untuk menumbuhkan kreativitas, keterampilan berpikir kritis, dan rasa percaya diri, sebab anak diajak mengeksplorasi gagasan mereka dalam bentuk yang bisa langsung dimainkan. Tidak jarang, pengalaman ini menjadi pintu masuk awal anak mengenal konsep dasar pemrograman atau desain digital, meski dalam bentuk sederhana. Selain aspek kreatif, Roblox juga sangat menonjol sebagai ruang interaksi sosial. Banyak anak memanfaatkannya bukan hanya untuk bermain, tetapi juga untuk menjaga hubungan dengan teman sebaya. Melalui fitur percakapan, kerja sama menyelesaikan misi, atau sekadar berkumpul dalam dunia virtual yang sama, anak-anak menemukan bentuk kebersamaan baru yang terasa relevan di era digital. Bahkan pada masa pandemi lalu, banyak laporan menyebutkan bahwa Roblox menjadi salah satu sarana utama anak untuk tetap terhubung dengan lingkaran sosialnya. Dari sisi perkembangan psikososial, pengalaman ini tentu memberikan ruang bagi anak untuk belajar bernegosiasi, bekerja dalam tim, serta merasakan arti kolaborasi meski dalam bentuk digital.
Namun, di balik potensi tersebut, Roblox juga menyimpan tantangan yang cukup serius, terutama karena sifatnya yang berbasis konten buatan pengguna. Tidak semua pengalaman yang dibuat di dalam platform sesuai untuk anak, meskipun ada sistem penyaringan dan kontrol orang tua. Beberapa laporan menunjukkan masih adanya permainan dengan konten yang tidak pantas, mulai dari kekerasan, tema dewasa, hingga simulasi interaksi yang berisiko menyesatkan anak. Situasi ini menuntut peran aktif pengawasan, karena filter otomatis tidak selalu mampu mencegah anak mengakses lingkungan yang kurang sesuai dengan usia mereka. Selain itu, interaksi dengan pemain asing di dalam game juga bisa menghadirkan risiko tersendiri. Anak dapat bertemu dengan orang yang tidak mereka kenal, dan komunikasi yang terjadi tidak selalu sehat atau aman. Dalam beberapa kasus, anak bahkan bisa menjadi sasaran bujukan untuk berbagi informasi pribadi atau diarahkan ke platform lain yang lebih berbahaya.
Roblox juga memiliki sisi ekonomi digital yang berpotensi menimbulkan tekanan bagi anak-anak. Dengan adanya mata uang virtual bernama Robux, pemain bisa membeli berbagai item kosmetik, akses khusus ke permainan, atau fitur tambahan yang membuat pengalaman bermain semakin menarik. Namun, sistem ini sekaligus menciptakan dorongan konsumtif. Anak-anak sering kali merasa perlu membeli item tertentu agar tidak ketinggalan tren atau agar avatar mereka terlihat lebih menarik dibandingkan teman-temannya. Dorongan semacam ini dapat melahirkan rasa persaingan yang kurang sehat, sekaligus membuka peluang pengeluaran berlebihan apabila tidak ada self-controlling. Bagi sebagian anak, kepuasan dari kepemilikan virtual bisa menjadi prioritas, sehingga membentuk pola pikir konsumtif sejak usia dini.
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah risiko kecanduan. Roblox menawarkan variasi permainan yang nyaris tak terbatas, dengan sistem imbalan yang dirancang untuk membuat anak terus ingin kembali bermain. Event khusus, tantangan berjangka, serta pengalaman baru yang terus bermunculan membuat anak mudah larut hingga lupa waktu. Data di beberapa negara menunjukkan bahwa rata-rata anak bisa menghabiskan lebih dari dua jam per hari hanya untuk bermain Roblox, yang tentu berimplikasi pada waktu tidur, aktivitas fisik, hingga konsentrasi belajar. Jika durasi ini tidak dikendalikan, maka dampaknya tidak hanya terlihat pada kesehatan fisik seperti kurang gerak dan pola tidur terganggu, tetapi juga pada aspek sosial ketika interaksi di dunia nyata semakin terpinggirkan.
Untuk mengoptimalkan manfaat Roblox sekaligus meminimalkan risikonya, peran orang tua menjadi kunci utama. Salah satu langkah paling penting adalah menerapkan pendampingan aktif ketika anak bermain. Pendampingan ini tidak selalu berarti harus duduk mendampingi setiap menit, tetapi lebih kepada keterlibatan dalam memahami apa yang anak mainkan, siapa saja yang berinteraksi dengan mereka, dan bagaimana mereka merespons pengalaman yang muncul di dalam permainan. Misalnya, orang tua bisa sesekali ikut mencoba game yang dibuat anak atau bergabung dalam obrolan sederhana seputar dunia virtual yang mereka kunjungi. Dengan cara ini, anak akan merasa bahwa aktivitas bermain mereka dianggap serius dan dihargai, sementara orang tua memiliki gambaran nyata tentang konten yang diakses. Selain itu, pendampingan semacam ini juga memberi kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai positif, seperti pentingnya bersikap jujur dan tidak mudah terpengaruh oleh tren konsumtif.
Langkah lain yang sangat relevan adalah memanfaatkan fitur kontrol orang tua yang sudah tersedia dalam Roblox. Platform ini menyediakan pengaturan privasi yang memungkinkan orang tua membatasi dengan siapa anak dapat berkomunikasi, mengatur siapa yang bisa bergabung ke permainan mereka, hingga membatasi akses pada jenis game tertentu. Walau fitur ini tidak sempurna, penggunaannya dapat mempersempit risiko anak terpapar interaksi berbahaya. Pengaturan ini bisa dikombinasikan dengan kesepakatan keluarga tentang durasi bermain, misalnya dengan menetapkan batas waktu harian atau hanya memperbolehkan bermain setelah kewajiban sekolah dan aktivitas fisik terpenuhi. Jika diterapkan secara konsisten, aturan tersebut tidak hanya membantu mencegah kecanduan, tetapi juga melatih anak belajar mengatur prioritas sejak dini. Selain aspek teknis, solusi yang bersifat edukatif juga perlu diperhatikan. Roblox sebenarnya bisa dijadikan alat pembelajaran jika diarahkan dengan tepat. Anak dapat diajak untuk menggunakan Roblox Studio sebagai sarana berkreasi, bukan hanya bermain. Dengan membuat game sendiri, anak bisa belajar dasar-dasar logika pemrograman, desain grafis, hingga pemecahan masalah. Orang tua atau guru dapat memposisikan Roblox sebagai media belajar kreatif, bukan semata hiburan. Bahkan, ada banyak komunitas edukasi yang sudah memanfaatkan Roblox untuk mengajarkan coding kepada anak-anak dengan cara yang lebih menyenangkan. Jika pendekatan ini digunakan, Roblox bisa berfungsi sebagai jembatan yang memperkaya pengalaman belajar, sekaligus mengurangi risiko anak terlalu larut hanya sebagai pemain pasif.