Lihat ke Halaman Asli

Nibras Andaru

Mahasiswa-Manusia Pembelajar

Menelusuri Skema Industri : Keuntungan Terselubung Di Balik Status "Magang"

Diperbarui: 8 Mei 2025   19:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di tengah kelesuan ekonomi yang melanda berbagai lapisan masyarakat, pekerjaan menjadi salah satu harapan bagi banyak orang untuk menyambung hidup dan memperbaiki kondisi keuangan. Bagi sebagian besar individu yang baru saja menyelesaikan pendidikan formal baik dari tingkat sekolah menengah maupun perguruan tinggi, pekerjaan juga menjadi tonggak harapan keluarga. Namun, harapan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sering kali dibenturkan dengan realitas yang tidak berpihak. Banyak fresh graduate yang dihadapkan pada tawaran pekerjaan berstatus "magang" dengan kompensasi yang jauh dari kata layak. Di tengah kebutuhan yang mendesak, meskipun mereka diterima di sebuah perusahaan, pada akhirnya menelan rasa ketidakadilan menjadi pengorbanan yang harus ditanggung oleh mereka.

Dalam fenomena ini, "status magang" seringkali menjadi semacam ketidakpastian bagi para pekerja baru, khususnya di sektor manufaktur, seperti yang disoroti oleh penulis melalui observasi dan wawancara ringan dengan mantan pekerja dan rekan-rekan yang masih aktif bekerja. Terdapat pola eksploitasi yang terstruktur melalui sistem perekrutan pemagangan yang berkepanjangan. Status "magang" sering kali dijustifikasi sebagai upaya untuk mengurangi turnover karyawan yang dianggap merugikan perusahaan.Turnover karyawan sendiri merupakan kondisi di mana pekerja meninggalkan perusahaan dan perlu digantikan oleh pekerja baru Namun alih-alih menjadi solusi, sistem ini justru menjadi instrumen keuntungan terselubung. Dengan dalih "pemagangan", perusahaan membayar upah di bawah standar, bahkan hanya setengah dari upah minimum regional, tanpa ada jaminan kelanjutan kerja.

Praktik ini menempatkan pekerja baru dalam ketidakpastian status, tanpa kontrak yang jelas, dengan upah yang rendah, dan rentan untuk digantikan sewaktu-waktu. Skema ini juga memicu keterasingan bagi buruh, sebuah kondisi keterasingan yang melemahkan daya tawar dan kesadaran kelas. Dalam logika kapitalistik, situasi semacam ini sangat menguntungkan bagi pemilik modal karena mereka dapat memangkas biaya tenaga kerja secara sistematis. Karl Marx, melalui teori nilai lebih (surplus value), telah lama mengkritik praktik di mana kapitalis meraup keuntungan dengan membayar upah di bawah nilai kerja sesungguhnya yang dihasilkan buruh.

Padahal, sistem hukum Indonesia menjamin bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (UUD 1945 Pasal 27 ayat 2), termasuk mereka yang berstatus magang. Pada praktiknya, amanat konstitusi ini sering diabaikan. Pekerja magang diperlakukan seperti pekerja tetap: beban kerja dan jam kerja mereka sering kali disamakan dengan pekerja tetap, meskipun mereka tidak diakui secara formal. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2020 sebenarnya telah mengatur program pemagangan dengan ketentuan yang jelas, mulai dari kurikulum pelatihan, pembimbing, hingga sertifikat. 

Namun, pada praktiknya, peraturan-peraturan tersebut hanya dijalankan sebagai formalitas. Banyak perusahaan yang secara strategis menggunakan status "pemagangan" sebagai celah hukum untuk menghindari kewajiban ketenagakerjaan formal. Lemahnya pengawasan dan lemahnya penegakan hukum terhadap parameter pemagangan yang seharusnya bersifat edukatif membuka ruang penyalahgunaan. Akibatnya, peserta magang kehilangan haknya untuk mendapatkan perlindungan yang sama. Status "pemagangan" menjadi kamuflase hukum yang memungkinkan perusahaan untuk menghindari kewajiban upah layak dan hak-hak dasar pekerja lainnya. Di sinilah terlihat bahwa praktik pemagangan yang tidak diawasi justru menjauhkan nilai keadilan sosial dari realitas pekerja sehari-hari.

Dari perspektif ekonomi, perlakuan yang adil terhadap pekerja tidak hanya merupakan persoalan moral, tetapi juga merupakan strategi investasi jangka panjang. Teori human capital menyatakan bahwa pekerja yang mendapatkan upah layak, lingkungan kerja yang aman, dan kepastian status kepegawaian cenderung lebih fokus, kreatif, dan produktif. Ketika kebutuhan dasar mereka terpenuhi, mereka dapat memberikan kinerja yang optimal. Sebaliknya, skema pemagangan yang eksploitatif menciptakan rasa keterasingan yang mendorong pekerja untuk mencari peluang lain, sehingga menciptakan ketidakstabilan struktural dalam operasi perusahaan itu sendiri. 

Dengan demikian, paradigma industri yang mengesampingkan kesejahteraan pekerja demi efisiensi semu, pada akhirnya menciptakan ketimpangan dan kontraproduktifitas yang mengancam keberlangsungan industri itu sendiri. Praktik pemagangan harus direvisi dan diawasi secara ketat agar tidak lagi menjadi topeng eksploitatif, tetapi benar-benar menjadi jembatan menuju dunia kerja yang memperhatikan kesejahteraan pekerja sesuai dengan amanat konstitusi negara kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline