Mohon tunggu...
AGUS PRANAMULIA
AGUS PRANAMULIA Mohon Tunggu... Dosen Ilmu Manajemen Universitas Nusa Bangsa dan Founder Yayasan Rasaning Rasa, tinggal di Bogor

AGUS PRANAMULIA adalah seorang pegiat manajemen, budaya dan sejarah dari Bogor

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Respon Masyarakat Adat Sunda Dalam Mitigasi Bencana Gempa Bumi

2 September 2025   01:50 Diperbarui: 2 September 2025   01:36 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PENDAHULUAN

Wilayah Jawa Barat, Banten, Jakarta dan bagian barat Jawa Tengah menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang kerap diguncang gempa bumi, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Terkait dengan hal itu, pemerintah telah merekomendasikan bangunan di wilayah tersebut harus dibangun menggunakan konstruksi bangunan tahan gempa bumi guna menghindari risiko kerusakan selain harus dilengkapi dengan jalur dan tempat evakuasi.

Gempa bumi (Lini, Earthquake) adalah getaran atau guncangan pada permukaan bumi akibat pelepasan energi secara tiba-tiba di dalam kerak bumi yang menyebabkan pergerakan lapisan batuan atau patahan, serta aktivitas vulkanik atau runtuhan batuan. Energi ini merambat sebagai gelombang seismik yang terasa sebagai getaran di permukaan. Gempa bumi di tanah Pasundan terjadi secara alami yaitu gempa tektonik (akibat pergeseran lempeng bumi), gempa vulkanik (akibat aktivitas gunung berapi), dan gempa runtuhan (akibat longsor atau runtuhan batuan/gua) atau disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti penambangan dan fracking (pengeboran).

Budaya telah mengajari bagaimana masyarakat Sunda dalam menghadapi bencana atau dikenal dengan kearifan lokal. Letak Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng besar  yaitu Pasifik, Eurasia dan Indo-Australia berdampak terhadap tingginya potensi bencana.  Tingginya potensi bencana ini memaksa nenek moyang kita untuk belajar bagaimana cara menghadapi atau memitigasi bencana.

FISIOGRAFI JAWA BARAT DAN BANTEN

Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 6 jalur fisiografi, yaitu :

  • Dataran Pantai Jakarta. Terletak di tepi Laut Jawa terbentang mulai dari Serang hingga Cirebon, tersusun atas batuan yang sebagian besar terdiri atas endapan aluvium, lahar dan aliran lumpur hasil Gunung Api yang bermuara di Laut Jawa seperti Citarum, Cimanuk, Ciasem, Cipunagara, Cikeruh dan Cisanggarung dan dari Gunung Tangkuban Parahu, Gede Pangranggo.
  • Zona Bogor. Terbentang mulai dari Jasinga hingga  Bumiayu di Jawa Tengah, terdiri atas bukit dan punggungan yang merupakan antiklinorium rumit dan cembung ke arah utara, tersusun oleh lapisan neogen yang terlipat kuat kemudian diikuti oleh kegiatan batuan beku sebagai batuan intrusi seperti Gunung Parang dan Sanggabuwana di Plered Purwakarta, Kromong dan Buligir sekitar Majalengka. Batas antara Zona ini  dengan Bandung adalah Gunung Ciremai (3.078 m) dan Tampomas (1.684 m).
  • Zona Bandung. Terbentang dari sebelah timur jalur pegunungan bayah hingga kesebelah timur Tasikmalaya dan berakhir di sagara anakan di Pantai Selatan Jawa Tengah. Zona ini  merupakan daerah gunungapi dan merupakan suatu depresi jika dibanding dengan Zona Bogor dan Zona Pegenungan Selatan serta terisi oleh endapan vulkanik muda.
  • Zona Pegunungan Selatan.Terbentang dari sekitar Teluk Pelabuhan Ratu di sebelah barat hingga ke Pulau Nusakambangan di sebelah timur. Satuan fisiografi ini juga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Jampang, Pangalengan, dan Karangnunggal.
  • Zona Gunungapi Kuarter . Zona ini meliputi gunung yang berumur Kuarter seperti Gunung Ciremai, Salak, Gede, Pangrango, Tangkuban Perahu dan gunung-gunung lainNya.
  • Kubah dan Punggungan pada Zona Depresi. Zona ini merupakan daerah pegunungan yang memperlihatkan bentuk-bentuk kubah. Zona ini dikontrol oleh struktur dan litologi yang terdiri atas batuan sedimen dan batuan beku. Morfologi zona ini juga dipengaruhi oleh struktur geologi seperti perlipatan, sesar dan kekar.

 

PENYEBAB GEMPA

Mayoritas gempa yang terjadi di Jawa Barat dan Banten selama tahun 2020-2025 disebabkan oleh aktivitas tektonik yang dangkal, seperti sesar lokal (intraplate) aktif dasar laut dan darat, dan zona subduksi. Tidak ada data yang menunjukkan disebabkan oleh aktivitas vulkanik, reruntuhan dan penambangan. Aktivitas tektonik berupa subduksi lempeng Indo-Australia yang lebih padat menunjam ke bawah lempeng Eurasia. Akibat dari adanya aktivitas tumbukan lempeng ini menghasilkan elemen tektonik utama di Jawa Barat dan Banten berupa palung, busur luar non volkanik, cekungan depan busur, jalur magmatisma, cekungan belakang busur dan Paparan Sunda. Pergerakan dan gesekan antar lempeng tektonik ini menyebabkan akumulasi energi yang sangat besar, yang kemudian dilepaskan dalam bentuk gempa bumi.

Sesar atau patahan aktif di wilayah Jawa Barat dan Banten adalah : Sesar Citarik (segmen Pelabuhan Ratu, Gunung Salak, Bogor, Bekasi dan pesisir utara laut Jawa), Cimandiri (segmen Pelabuhan Ratu, Loji, Cidadap, Citarik, Cadasmalang, Ciceureum, Cirampo, Pangleseran, Nyalindung, Cibeber, Ganda Soli, Cibeber, Saguling dan Padalarang), Lembang (segmen Cimahi, Bandung, Jatinangor),  Sunda, Ujung Kulon, Baribis, Bojanagara, Suralaya,  Cugenang, sesar naik busur belakang Jawa Barat (west Java back arc thrust) dan sesar Garut Selatan (segmen Rakutai, Kencana).

MITIGASI BENCANA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun