PENDAHULUAN
Wilayah Jawa Barat, Banten, Jakarta dan bagian barat Jawa Tengah menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang kerap diguncang gempa bumi, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Terkait dengan hal itu, pemerintah telah merekomendasikan bangunan di wilayah tersebut harus dibangun menggunakan konstruksi bangunan tahan gempa bumi guna menghindari risiko kerusakan selain harus dilengkapi dengan jalur dan tempat evakuasi.
Gempa bumi (Lini, Earthquake) adalah getaran atau guncangan pada permukaan bumi akibat pelepasan energi secara tiba-tiba di dalam kerak bumi yang menyebabkan pergerakan lapisan batuan atau patahan, serta aktivitas vulkanik atau runtuhan batuan. Energi ini merambat sebagai gelombang seismik yang terasa sebagai getaran di permukaan. Gempa bumi di tanah Pasundan terjadi secara alami yaitu gempa tektonik (akibat pergeseran lempeng bumi), gempa vulkanik (akibat aktivitas gunung berapi), dan gempa runtuhan (akibat longsor atau runtuhan batuan/gua) atau disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti penambangan dan fracking (pengeboran).
Budaya telah mengajari bagaimana masyarakat Sunda dalam menghadapi bencana atau dikenal dengan kearifan lokal. Letak Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng besar  yaitu Pasifik, Eurasia dan Indo-Australia berdampak terhadap tingginya potensi bencana.  Tingginya potensi bencana ini memaksa nenek moyang kita untuk belajar bagaimana cara menghadapi atau memitigasi bencana.
FISIOGRAFI JAWA BARAT DAN BANTEN
Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 6 jalur fisiografi, yaitu :
- Dataran Pantai Jakarta. Terletak di tepi Laut Jawa terbentang mulai dari Serang hingga Cirebon, tersusun atas batuan yang sebagian besar terdiri atas endapan aluvium, lahar dan aliran lumpur hasil Gunung Api yang bermuara di Laut Jawa seperti Citarum, Cimanuk, Ciasem, Cipunagara, Cikeruh dan Cisanggarung dan dari Gunung Tangkuban Parahu, Gede Pangranggo.
- Zona Bogor. Terbentang mulai dari Jasinga hingga  Bumiayu di Jawa Tengah, terdiri atas bukit dan punggungan yang merupakan antiklinorium rumit dan cembung ke arah utara, tersusun oleh lapisan neogen yang terlipat kuat kemudian diikuti oleh kegiatan batuan beku sebagai batuan intrusi seperti Gunung Parang dan Sanggabuwana di Plered Purwakarta, Kromong dan Buligir sekitar Majalengka. Batas antara Zona ini  dengan Bandung adalah Gunung Ciremai (3.078 m) dan Tampomas (1.684 m).
- Zona Bandung. Terbentang dari sebelah timur jalur pegunungan bayah hingga kesebelah timur Tasikmalaya dan berakhir di sagara anakan di Pantai Selatan Jawa Tengah. Zona ini  merupakan daerah gunungapi dan merupakan suatu depresi jika dibanding dengan Zona Bogor dan Zona Pegenungan Selatan serta terisi oleh endapan vulkanik muda.
- Zona Pegunungan Selatan.Terbentang dari sekitar Teluk Pelabuhan Ratu di sebelah barat hingga ke Pulau Nusakambangan di sebelah timur. Satuan fisiografi ini juga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Jampang, Pangalengan, dan Karangnunggal.
- Zona Gunungapi Kuarter . Zona ini meliputi gunung yang berumur Kuarter seperti Gunung Ciremai, Salak, Gede, Pangrango, Tangkuban Perahu dan gunung-gunung lainNya.
- Kubah dan Punggungan pada Zona Depresi. Zona ini merupakan daerah pegunungan yang memperlihatkan bentuk-bentuk kubah. Zona ini dikontrol oleh struktur dan litologi yang terdiri atas batuan sedimen dan batuan beku. Morfologi zona ini juga dipengaruhi oleh struktur geologi seperti perlipatan, sesar dan kekar.
Â
PENYEBAB GEMPA
Mayoritas gempa yang terjadi di Jawa Barat dan Banten selama tahun 2020-2025 disebabkan oleh aktivitas tektonik yang dangkal, seperti sesar lokal (intraplate) aktif dasar laut dan darat, dan zona subduksi. Tidak ada data yang menunjukkan disebabkan oleh aktivitas vulkanik, reruntuhan dan penambangan. Aktivitas tektonik berupa subduksi lempeng Indo-Australia yang lebih padat menunjam ke bawah lempeng Eurasia. Akibat dari adanya aktivitas tumbukan lempeng ini menghasilkan elemen tektonik utama di Jawa Barat dan Banten berupa palung, busur luar non volkanik, cekungan depan busur, jalur magmatisma, cekungan belakang busur dan Paparan Sunda. Pergerakan dan gesekan antar lempeng tektonik ini menyebabkan akumulasi energi yang sangat besar, yang kemudian dilepaskan dalam bentuk gempa bumi.
Sesar atau patahan aktif di wilayah Jawa Barat dan Banten adalah : Sesar Citarik (segmen Pelabuhan Ratu, Gunung Salak, Bogor, Bekasi dan pesisir utara laut Jawa), Cimandiri (segmen Pelabuhan Ratu, Loji, Cidadap, Citarik, Cadasmalang, Ciceureum, Cirampo, Pangleseran, Nyalindung, Cibeber, Ganda Soli, Cibeber, Saguling dan Padalarang), Lembang (segmen Cimahi, Bandung, Jatinangor), Â Sunda, Ujung Kulon, Baribis, Bojanagara, Suralaya, Â Cugenang, sesar naik busur belakang Jawa Barat (west Java back arc thrust) dan sesar Garut Selatan (segmen Rakutai, Kencana).
MITIGASI BENCANA
Masyarakat Sunda yang masih memiliki modal kultural kuat lebih unggul dalam mengelola keadaan bencana dibandingkan dengan masyarakat yang sudah kehilangan budayanya. Pemanfaatan pengetahuan dan praktik lokal dapat mempercepat dan meningkatkan efektivitas respons serta bantuan antarwarga saat terjadi bencana.Setiap masyarakat dimanapun selalu merespon dalam upaya mengantisipasi bencana, khususnya bencana gempa bumi.
Adaptasi dan mitigasi bencana merupakan sebuah interaksi antara kearifan lokal dan adat masyarakat suatu wilayah. Kearifan lokal dan adat masyarakat mengenai adaptasi dan mitigasi bencana muncul berdasarkan karena pengalaman-pengalaman yang telah dilalui oleh masyarakat. Dari pengalaman masyarakat mengenai peristiwa bencana kemudian muncullah proses adaptasi dalam menghadapi bencana.
Respon masyarakat adat pada kebudayaan Sunda dari kampung Kanekes, Gelar Alam Banten Kidul dan Naga Tasikmalaya sebagai sebuah bentuk kearifan lokal berupa  : bangunan Rumah Bambu, tata ruang penggunaan lahan dan leuit sebagai persediaan pangan terutama ketika terjadi bencana gempa bumi. Â
- Rumah panggung dengan konstruksi kayu sistem knockdown terbukti efektif terhadap kerusakan disaat gempa.
- Sengkedan/terracering secara teknologi terbukti efektif  mencegah erosi dan longsor apalagi dengan mempergunakan batu sebagai penguat tebing teras.
- Keberadaan hutan tetap terpelihara sebagai fungsi klimatologis, hidrologis dan ekologis.
- Keberadaan leuit dengan cadangan pangannya sebagai bentuk persiapan bila bencana terjadi sewaktu-waktu.
Bentuk kearifan lokal yang ada di tanah Pasundan dapat menjadi model yang sangat baik bagi mitigasi bencana di daerah lain di Indonesia.
PENUTUP
Masyarakat Sunda yang masih memiliki modal adat lebih unggul dalam mengelola keadaan bencana dibandingkan dengan masyarakat yang sudah kehilangan budayanya. Pemanfaatan pengetahuan dan praktik lokal dapat mempercepat dan meningkatkan efektivitas respons serta bantuan antarwarga saat terjadi bencana. Kita harus mampu empati atau peka terhadap apa yang sudah nenek moyang lakukan dalam menjaga kelangsungan hidup kita dari masa ke masa, dari berbagai ancaman bencana selama beratus bahkan beribu abad lamanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI