Lihat ke Halaman Asli

Nada Faradisa

mahasiswa

Wacana Fasilitas Sekolah Rakyat Persepektif Masyarakat Pesisir Nelayan Berondong Paciran Lamongan

Diperbarui: 2 Juni 2025   21:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendahuluan (Introduction) 

Pendidikan memiliki peran fundamental dalam membentuk kualitas sumber daya manusia dan menentukan arah pembangunan suatu bangsa (Tilaar, 2004). Dalam konteks masyarakat pesisir, pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencerdasan, tetapi juga sebagai instrumen pemberdayaan sosial-ekonomi. Namun, akses dan kualitas pendidikan di daerah pesisir seringkali terkendala oleh faktor geografis, ekonomi, serta minimnya infrastruktur pendukung (Rohmana, 2016). Kesenjangan pendidikan antara daerah pusat dan pinggiran seperti pesisir Brondong Paciran Lamongan mencerminkan ketimpangan struktural yang berdampak pada terbatasnya kesempatan belajar bagi anak-anak nelayan. Masyarakat pesisir nelayan di brondong paciran memiliki karasteristik unik yang memengaruhi akses dan kualitas pendidikan. Kehidupan yang sebagian besar bergantung pada laut, mobilitas tinggi dan kondisi geografis yang terkadang terisolir menciptakan tantangan khusus dalam penyelenggaraan pendidikan. Sekolah rakyat, sebagai lembaga pendidikan dasar, memegang peranan krusial dalam membentuk generasi penerus yang mampu menghadapi tantangan tersebut dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir. Menurut Freire (2005), pendidikan yang membebaskan harus berangkat dari realitas sosial peserta didik dan mengembangkan kesadaran kritis terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini, konsep sekolah rakyat menjadi jawaban terhadap kebutuhan akan pendidikan yang kontekstual, partisipatif, dan berbasis komunitas. 

Pendidikan menjadi suatu problematika di kehidupan masyarakat pesisir pantai, padahal pedidikan sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia. Selain itu, pendidikan diperlukan untuk membuat masyarakat dapat mengembangkan potensi manusia agar memiliki kekuatan sprititual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga Negara (Rini, Y. S. dan Tari, 2013). Pendidikan berdasarkan jalurnya dibagi menjadi dua yaitu pendidikan non formal dan pendidikan formal. Pendidikan non formal adalah pendidikan yang ada dalam keluarga dan masyarakat. sedangkan pendidikan formal adalah pendidikan yang berlangsung di lingkungan sekolah. Menurut (Machali dan Hidayat, 2018 dalam Hasanah, 2019) pendidikan pada jalur formal adalah pendidikan yang terstruktur dan berjenjang, terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah serta pendidikan tinggi. Dan ciri dari pendidikan formal adalah prosesnya berlangsung di ruang kelas yang sengaja dibuat oleh lembaga formal tersebut. Sekolah adalah tempat untuk anak-anak belajar, menuntut ilmu. Selain itu, sekolah menjadi wadah bagi siswa dalam mengembangkan potensi diri dan membentuk jati diri (Khoury, 2017; Sari, SR., dkk., 2020:95).  Sekolah rakyat merupakan model pendidikan non-formal yang menekankan pada pembelajaran kontekstual dan integratif terhadap nilai-nilai lokal. Suyanto (2012) menjelaskan bahwa sekolah rakyat hadir sebagai bentuk pendidikan alternatif yang bersifat fleksibel dan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Model ini sejalan dengan gagasan Vygotsky (1978) tentang zona perkembangan proksimal, di mana proses belajar akan lebih optimal bila dimediasi melalui interaksi sosial yang sesuai dengan konteks budaya peserta didik.

Di Brondong, gagasan sekolah rakyat maritim mencerminkan kebutuhan mendesak masyarakat terhadap sistem pendidikan yang tidak hanya adaptif terhadap rutinitas kehidupan nelayan, tetapi juga berorientasi pada keterampilan praktis seperti operasi kapal, teknik penangkapan ikan, hingga pengolahan hasil laut. Hal ini memperkuat pendapat Dewey (1938), yang menyatakan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menyatu dengan pengalaman hidup peserta didik dan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar. Fasilitas pendidikan juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kualitas proses pembelajaran. Sanjaya (2010) menyebutkan bahwa fasilitas yang layak tidak hanya berperan sebagai sarana fisik, tetapi juga mencerminkan dukungan struktural terhadap hak peserta didik dalam mengakses layanan pendidikan yang bermutu. Meski dalam konteks Brondong, fasilitas sekolah masih bersifat sederhana dan minimalis, namun telah menunjukkan daya guna yang tinggi berkat inovasi sosial dan partisipasi aktif masyarakat. Dalam pendekatan pendidikan berbasis komunitas, partisipasi warga dan optimalisasi potensi lokal merupakan komponen penting keberhasilan pendidikan (Ningtias, Karomah, & Saputro, 2023). keterlibatan masyarakat dalam pendidikan, seperti yang terjadi pada kolaborasi SMKN Maritim dengan nelayan dan pengusaha ikan, memperlihatkan bentuk partisipasi kultural dan ekonomi yang memperkuat model pendidikan kontekstual. Fitri (2023) menyatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini di daerah pesisir menjadi indikator penting terhadap keberlanjutan program pendidikan berbasis lokal.

Oleh karena itu, kajian ini memandang penting untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi wacana sekolah rakyat dari perspektif masyarakat pesisir nelayan. Khususnya dalam meninjau bagaimana fasilitas, partisipasi sosial, dan integrasi nilai-nilai lokal dapat menjadi fondasi kuat bagi pengembangan sistem pendidikan alternatif yang relevan, adil, dan berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi sekolah rakyat di masyarakat pesisir nelayan, menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pendidikan, dan mengidentifikasi strategi yang tepat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di wilayah tersebut. Akan tetapi sekolah ini masih wacana untuk di jadikan sekolah rakyat belum di resmikan. Sekolah rakyat atau pendidikan alternatif di masyarakat pesisir berperan penting sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan pendidikan formal dan memberikan pembelajaran yang relevan dengan kondisi lingkungan di masyarakat pesisir

Metode Penelitian (Method)

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan secara mendalam persepsi masyarakat pesisir nelayan Brondong Paciran Lamongan terhadap wacana pendirian sekolah rakyat dan fasilitas yang mendukungnya. Pendekatan ini dipilih karena bersifat fleksibel, memungkinkan peneliti mengeksplorasi kondisi sosial, budaya, dan pendidikan secara alami, tanpa manipulasi terhadap variabel (Ningtias, Karomah, & Saputro, 2023). Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara semi-terstruktur dengan salah satu guru yang memahami konteks sekolah maritim dan wacana pendirian sekolah rakyat. Guru ini merupakan informan kunci yang memiliki pengetahuan mendalam tentang proses pendidikan di daerah pesisir serta hubungan antara sekolah dan masyarakat nelayan. Seluruh data dianalisis secara deskriptif dengan menekankan pada pemaknaan sosial yang muncul dari wawancara. Peneliti mengidentifikasi pola-pola yang muncul dalam tanggapan masyarakat serta menyoroti tantangan dan potensi yang dimiliki oleh sekolah maritim sebagai cikal bakal sekolah rakyat. Analisis dilakukan secara tematik, dengan membandingkan hasil temuan terhadap teori dan kajian sebelumnya yang relevan, seperti dalam penelitian Saparia et al. (2023) yang menekankan pentingnya pendekatan geografis dalam pendidikan anak usia dini di wilayah pesisir. Dengan demikian, metode yang digunakan dalam penelitian ini memungkinkan peneliti memperoleh gambaran utuh mengenai realitas sosial pendidikan di masyarakat nelayan, serta menilai kesiapan fasilitas dan lingkungan dalam mendukung keberadaan sekolah rakyat di Brondong Paciran Lamongan. 

Findings (can be in form of subheading) 

Penelitian ini menggambarkan dinamika wacana pendirian sekolah rakyat di wilayah pesisir Brondong Paciran Lamongan, khususnya dari perspektif masyarakat nelayan yang sehari-harinya bergantung pada hasil laut. Gagasan ini muncul sebagai respons terhadap keterbatasan akses pendidikan formal di daerah pesisir, baik dari segi jarak, waktu, biaya, maupun kesesuaian kurikulum dengan realitas kehidupan nelayan. Berdasarkan observasi dan wawancara dengan salah satu guru dari SMKN Maritim Brondong, diketahui bahwa lembaga ini menjadi titik awal berkembangnya wacana sekolah rakyat berbasis maritim. Meski secara formal sekolah ini masih berstatus sebagai SMK dengan kurikulum nasional, namun dalam praktiknya telah mengembangkan model pendidikan yang dekat dengan komunitas dan memanfaatkan kekayaan lingkungan laut sebagai sumber belajar.

Sekolah ini memiliki fasilitas yang terbilang cukup baik dan fungsional, antara lain enam ruang kelas, mushola, ruang makan, aula, lapangan futsal dan basket, kantor, serta asrama siswa. Fasilitas ini tidak hanya sekadar struktur fisik, tetapi juga mencerminkan adanya upaya adaptasi terhadap kebutuhan lokal. Dalam konteks pendidikan berbasis komunitas, sebagaimana dijelaskan oleh Sanjaya (2010), fasilitas bukan hanya mencakup bangunan, melainkan segala bentuk dukungan yang memungkinkan proses belajar mengajar berlangsung secara efektif dan relevan. Lingkungan pesisir yang biasanya dianggap sebagai hambatan dalam pendidikan justru dijadikan sebagai kekuatan oleh pihak sekolah: pantai dan laut sekitar dimanfaatkan sebagai laboratorium terbuka untuk anak-anak mempelajari teknika kapal, penangkapan ikan, dan pengolahan hasil laut secara langsung.

Dari segi sosial, masyarakat nelayan menunjukkan dukungan yang sangat positif terhadap wacana ini. Mereka menganggap sekolah rakyat sebagai alternatif yang adaptif, karena menawarkan fleksibilitas waktu belajar yang memungkinkan anak-anak tetap mendapatkan pendidikan tanpa harus terganggu oleh pekerjaan orang tua di laut. Dalam budaya nelayan, waktu bekerja sangat bergantung pada cuaca dan musim, sehingga pendidikan yang kaku dalam struktur formal menjadi kendala besar. Fleksibilitas inilah yang kemudian dinilai menjadi keunggulan dari sekolah rakyat, yang menurut Freire (2005) harus lahir dari realitas sosial masyarakat dan mendorong partisipasi aktif mereka dalam proses pendidikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline