Mohon tunggu...
Jurusan Keperawatan Polkesdo
Jurusan Keperawatan Polkesdo Mohon Tunggu... Keperawatan

Institusi Jurusan Keperawatan Polkesdo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Digitalisasi sebagai Intervensi Kristis Perkembangan Anak Stunting Menuju Pencapaian SDGs

15 Oktober 2025   21:37 Diperbarui: 15 Oktober 2025   21:37 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi dari Digitalisasi sebagai Intervensi Kristis Perkembangan Anak Stunting Menuju Pencapaian SDGs

Oleh: Dorce Sisfiani Sarimin
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin 

Fenomena stunting sering kali disederhanakan hanya sebagai masalah gizi kronis yang berdampak pada tinggi badan anak. Padahal, stunting merupakan persoalan multidimensi yang menghambat perkembangan kognitif, motorik, dan psikososial anak, yang pada akhirnya menghalangi pencapaian potensi sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), stunting bukan hanya akibat kekurangan gizi, tetapi juga hasil dari kombinasi tiga faktor utama: gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Artinya, kekurangan stimulasi pada masa awal kehidupan memiliki dampak merusak yang setara dengan kekurangan gizi terhadap perkembangan otak anak.

Anak yang mengalami stunting cenderung memiliki risiko lebih tinggi terhadap keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, serta masalah perilaku dan sosial di kemudian hari. Oleh karena itu, intervensi terhadap stunting tidak bisa berhenti pada pemberian makanan tambahan semata. Intervensi sensitif berupa stimulasi dini terstruktur---seperti prinsip Asuh, Asih, Asah---harus dilakukan secara konsisten oleh orang tua. Namun kenyataannya, banyak orang tua, terutama di wilayah terpencil atau kelompok sosial ekonomi rendah, belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang cara memberikan stimulasi perkembangan yang efektif. Di sinilah kesenjangan terbesar terjadi: bukan hanya soal ketersediaan gizi, tetapi juga ketersediaan informasi dan keterampilan pengasuhan.

Penanganan stunting sejatinya merupakan prioritas lintas sektor yang berhubungan langsung dengan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). SDG 2, "Tanpa Kelaparan," menargetkan penghapusan segala bentuk malnutrisi, termasuk stunting, melalui perbaikan gizi dan akses pangan bergizi. SDG 3, "Kehidupan Sehat dan Sejahtera," menekankan pentingnya tumbuh kembang anak yang optimal sebagai bagian dari upaya menjamin hidup sehat. Sementara SDG 4, "Pendidikan Berkualitas," berkaitan erat dengan kemampuan kognitif yang dipengaruhi oleh status gizi dan stimulasi dini. Anak dengan stunting cenderung memiliki kemampuan belajar rendah, yang berdampak pada prestasi akademik dan produktivitas di masa depan. Akhirnya, dampak jangka panjang stunting juga menghambat SDG 8, "Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi," karena generasi yang tumbuh dengan keterbatasan kognitif dan fisik berpotensi memiliki produktivitas rendah dan berisiko memperpanjang lingkaran kemiskinan antargenerasi.

Dengan demikian, mengabaikan aspek stimulasi perkembangan pada anak stunting berarti menggagalkan pencapaian kualitas SDM yang menjadi fondasi bagi seluruh tujuan SDGs. Namun, tantangan terbesar dalam pemberian stimulasi adalah keterbatasan akses informasi yang valid, terstruktur, dan aplikatif---terutama bagi masyarakat di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Di sinilah digitalisasi memainkan peran krusial sebagai intervensi kritis. Transformasi digital di sektor kesehatan tidak hanya berbicara tentang efisiensi sistem, tetapi juga tentang pemerataan akses edukasi, data, dan layanan perkembangan anak.

Kementerian Kesehatan melalui agenda Transformasi Teknologi Kesehatan telah menetapkan digitalisasi sebagai salah satu pilar utama dalam upaya perbaikan sistem kesehatan nasional. Pilar ke-6, yaitu Inovasi dan Integrasi Data, dapat menjadi enabler penting dalam percepatan penanggulangan stunting. Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan data tumbuh kembang anak dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SatuSehat) yang memungkinkan pemantauan perkembangan anak secara real-time dan berbasis bukti.

Digitalisasi edukasi merupakan kunci untuk menjembatani kesenjangan informasi. Pertama, akses informasi yang merata dapat diwujudkan melalui aplikasi seluler yang terintegrasi dengan data pertumbuhan anak, menyediakan panduan stimulasi harian yang dipersonalisasi sesuai usia dan status perkembangan. Orang tua dapat memperoleh informasi tentang cara memberikan rangsangan sensorik, motorik, dan bahasa dengan mudah, bahkan di daerah terpencil. Kedua, edukasi berbasis multimedia terbukti lebih efektif dibandingkan teks konvensional. Konten digital berupa video interaktif, infografis sederhana, dan mini-game edukatif di platform seperti WhatsApp, YouTube, atau aplikasi Posyandu Digital akan lebih mudah dipahami oleh orang tua, kader, dan guru PAUD.

Selain itu, digitalisasi memungkinkan pengembangan sistem deteksi dini terintegrasi berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dan big data. Melalui sistem ini, data pertumbuhan dan perkembangan anak yang dimasukkan oleh kader atau orang tua dapat dianalisis untuk mendeteksi potensi keterlambatan perkembangan secara cepat. Sistem akan memberikan rekomendasi intervensi stimulasi yang tepat, bahkan sebelum masalah menjadi kronis. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan efisiensi layanan, tetapi juga mengubah paradigma penanganan stunting dari reaktif menjadi preventif.

Namun demikian, digitalisasi bukan tanpa tantangan. Akses internet yang belum merata, literasi digital yang rendah, dan keterbatasan perangkat di kalangan masyarakat ekonomi bawah menjadi hambatan nyata. Oleh karena itu, strategi digitalisasi harus disertai kebijakan afirmatif yang menjamin inklusivitas. Pemerintah daerah dan lintas sektor perlu berperan dalam memastikan infrastruktur digital tersedia hingga ke pelosok desa, sekaligus melatih kader dan masyarakat agar mampu memanfaatkan teknologi secara efektif.

Lebih dari sekadar alat bantu, digitalisasi seharusnya menjadi strategi kebijakan nasional yang memprioritaskan demokratisasi informasi kesehatan dan pengasuhan anak. Intervensi digital yang dirancang dengan baik dapat memperkuat kolaborasi antara tenaga kesehatan, tenaga pendidik, dan keluarga. Setiap anak, tanpa memandang di mana ia lahir atau tumbuh, berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang secara optimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun