Ada optimisme baru dari temuan menarik bahwa 60,7% anak muda Indonesia berusia 18--25 tahun menyukai jamu yang praktis. Di tengah bayang-bayang stigma bahwa jamu adalah minuman 'orang tua' dengan rasa pahit dan aroma menyengat, tren ini menunjukkan adanya pergeseran cara pandang generasi muda terhadap warisan fitofarmaka Nusantara.
Selama bertahun-tahun, jamu seringkali dikaitkan dengan budaya tradisional yang kian tersisih dalam lanskap modernitas. Banyak anak muda yang enggan mengonsumsi jamu karena dianggap kuno, tidak enak, bahkan tidak keren. Namun kini, melalui kemasan yang lebih modern, varian rasa yang lebih bersahabat, serta branding yang menyentuh gaya hidup sehat kekinian, jamu kembali mendapatkan tempat di hati generasi muda. Ini adalah celah kultural yang amat penting.
Gerakan pengobatan herbal Nusantara tidak hanya bicara tentang produk kesehatan, tetapi juga merupakan manifes kedaulatan farmasi bangsa. Di tengah dominasi obat-obatan kimia impor, jamu dan obat tradisional Indonesia adalah simbol dari keberpihakan terhadap potensi dalam negeri, baik dari sisi sumber daya alam maupun pengetahuan lokal. Ini adalah kekuatan lunak (soft power) Indonesia dalam geopolitik kesehatan dunia.
Ketika anak muda mulai mencintai jamu, mereka bukan hanya merawat tubuhnya, tetapi juga merawat akar budaya bangsanya. Dalam tiap teguk jamu, tersimpan doa leluhur, kekuatan alam, dan semangat kedaulatan obat Indonesia yang tak boleh dilupakan.
Indonesia memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman, dan sekitar 7.500 di antaranya berkhasiat obat. Fakta ini menjadikan negeri kita sebagai salah satu negara dengan biodiversitas tertinggi di dunia. Namun, yang patut disesalkan adalah belum optimalnya pengelolaan pengetahuan etnofarmakologi ini dalam ekosistem inovasi nasional. Padahal, inilah landasan utama yang seharusnya menjadikan Indonesia sebagai pusat pengembangan herbal dunia.
Proyeksi pertumbuhan pasar obat tradisional Indonesia yang akan mencapai nilai 25,4 miliar dolar AS pada 2033 dengan laju CAGR 7,1 persen adalah peluang ekonomi sekaligus tantangan kedaulatan. Pertanyaannya, apakah pertumbuhan ini akan dinikmati oleh pelaku industri lokal, atau justru diambil alih oleh korporasi global yang hanya mengemas ulang khazanah obat Nusantara untuk pasar internasional?
Kembali pada fakta bahwa anak muda mulai menyukai jamu praktis, ini adalah momentum emas. Dengan populasi usia muda yang dominan, transformasi persepsi terhadap jamu harus disinergikan dengan riset ilmiah, pengembangan teknologi pangan, dan promosi berbasis budaya. Kita membutuhkan pendekatan lintas-disiplin yang menghubungkan ilmu hayati, antropologi kesehatan, ekonomi budaya, dan kebijakan inovasi.
Jamu Indonesia memiliki karakteristik unik, yaitu holistik, preventif, dan terhubung dengan ekosistem sosial budaya masyarakat. Ini menjadikannya bukan hanya sekadar minuman atau obat, tetapi juga bagian dari sistem pengetahuan dan praktik hidup berkelanjutan.
Anak muda hari ini adalah agen perubahan. Mereka tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen makna dan narasi baru tentang gaya hidup sehat berbasis lokalitas. Maka, penting untuk mendorong lebih banyak start-up herbal, inkubasi bisnis jamu modern, dan pelibatan influencer serta komunitas sehat untuk mengangkat jamu sebagai gaya hidup urban yang progresif.
Namun demikian, transformasi jamu tidak boleh berhenti pada kemasan atau rasa. Standarisasi, uji klinis, sertifikasi halal, hingga integrasi dalam sistem pelayanan kesehatan nasional harus menjadi prioritas. Hanya dengan cara itu, jamu bisa diterima bukan hanya karena 'warisan leluhur', tetapi juga karena basis ilmiahnya yang kuat.
Pemerintah, akademisi, pelaku industri, dan komunitas lokal harus membentuk aliansi strategis. Misalnya, riset jamu berbasis biodiversitas lokal diintegrasikan dengan pengembangan kawasan ekonomi kreatif herbal di daerah-daerah sentra tanaman obat. Ini adalah model ekonomi berbasis sumber daya lokal yang berkelanjutan.