Lihat ke Halaman Asli

Budaya Victim Blaming yang Lekat dengan Masyarakat

Diperbarui: 20 Maret 2019   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika bercerita akan keprihatinan saya mengenai penyintas kasus pelecehan seksual yang terjadi beberapa waktu lalu, saya ingat salah satu teman menyeletuk "Tapi hal seperti itu kadang harus dilihat, perempuannya pakai baju apa, terus dia kayak gimana. Bisa jadi dia yang ngundang?" saya pun langsung terdiam tanpa melawan dan teman- teman saya beralih topik. 

Keprihatinan saya setelah itu bertambah ketika mengetahui banyak teman saya yang dari segi edukasi itu tinggi (karena mereka, tentunya, berstatus mahasiswa) namun masih banyak yang menganggap seorang penyintas dalam kejadian pelecehan seksual turut memiliki andil dalam 'mengundang' pelaku. 

Saya mengakui kadang saya memilih diam ketika mengetahui pemahaman teman mengenai hal tersebut itu salah, terutama di ruang publik. Tapi saya tidak diam ketika teman saya berbicara hanya dengan saya saja, saya jelaskan bahwa 'penyintas' adalah 'penyintas', ia tidak punya andil secuil pun dalam kasus yang menimpanya. 

Namun masih saja ada beberapa yang bersikukuh menggunakan analogi 'kucing dikasih ikan tidak mungkin menolak', tetapi tentunya penyintas bukanlah ikan, dan pelaku bukanlah kucing. Kucing terlalu lucu untuk disamakan dengan seorang predator.

Hal tersebut biasa disebut victim blaming, konsep blaming the victim sendiri merupakan bagaimana seseorang selalu menemukan atau mencari kesalahan pada penyintas. Pengalaman saya hanya merupakan secuil gambaran tentang bagaimana sebagian masyarakat Indonesia masih awam tentang hal- hal terkait konsep pelecehan seksual. Budaya tersebut mengakar kuat di masyarakat, dan budaya itu pula lah yang menekan penyintas untuk tidak mengambil langkah hukum. 

Pihak yang berwenang pun kebanyakan tidak membantu. Beberapa cenderung meremehkan dan menganggap hal tersebut memang kemauan penyintas, selain itu, adapula penyintas yang tidak mendapatkan konseling atau bantuan hukum dari polisi .

Mengapa hal ini terus- terusan terjadi? Masyarakat Indonesia yang sudah identik dengan sistem patriarki juga memiliki peran dibalik maraknya victim blaming, kasus kekerasan atau pelecehan seksual, dan bahkan masalah- masalah sosial yang masih terjadi di Indonesia. Patriarki artinya sebuah struktur yang menempatkan laki- laki sebagai penguasa sentral, tunggal, dan segala- galanya. 

Sistem ini menempatkan perempuan menjadi sebuah 'hiasan dalam rumah', menganggap perempuan adalah makhluk inferior dibandingkan seorang laki- laki sehingga pendapatnya jarang didengar maupun digubris. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang menormalkan pelaku melakukan pelecehan seksual karena laki- laki dianggap memiliki syahwat yang tinggi, "namanya juga laki- laki" merupakan alasan defensif paling tidak masuk akal yang pernah saya dengar. 

Seingat saya, laki- laki (ataupun pelaku yang notabene bisa lelaki atau perempuan, namun dalam kasus ini yang saya soroti adalah pelaku laki- laki) juga memiliki akal untuk menjaga hawa nafsunya. 

Namun mengapa bisa bertingkah sejahat binatang? Berbagai alasan defensif yang dikeluarkan berkaitan dengan pembelaan terhadap pelaku, menurut saya sangat tidak manusiawi kepada penyintas yang telah direnggut hak asasinya. Apalagi ketika pelaku merupakan seseorang yang memiliki 'nama', damai sering menjadi ujung dari kasus- kasus yang terjadi. Pelaku dibiarkan melenggang dan luka penyintas dibiarkan terbuka lalu dilupakan begitu saja.

Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menghilangkan budaya victim blaming? Tentunya pendidikan, karena masyarakat Indonesia memiliki peraturan wajib sekolah selama 12 tahun. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline