“Anak saya lulus S1, IPK-nya bagus, tapi sudah setahun belum juga dipanggil kerja.” Kalimat ini makin sering terdengar di ruang publik, bahkan di meja makan keluarga, grup media sosial orang tua, dan mungkin juga di forum-forum kampus.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari lalu, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia jauh melebihi 7 juta orang, dan dari jumlah tersebut sekitar 1 juta adalah lulusan pendidikan tinggi (D4, S1, S2, S3).
Hampir 14% dari total pengangguran adalah sarjana. Artinya, jika kita menemui 8 orang penganggur, hampir bisa dipastikan salah satunya bergelar sarjana.
Sepuluh tahun lalu, angka ini hanya kurang dari 6%. Artinya, pengangguran lulusan perguruan tinggi meningkat lebih dari dua kali lipat dalam satu dekade saja.
Fenomena ini dikenal sebagai "sarjana pengangguran". Ironiknya, istilah ini semakin akrab di tengah masyarakat. Masalah ini tidak hanya soal kurangnya lapangan kerja, tetapi bisa jadi mengenai hal yang lebih dalam, yaitu adanya ketidaksesuaian antara kompetensi lulusan dan kebutuhan dunia kerja.
Tulisan ini berupaya menyajikan bagaimana LAM menjadi jawaban terhadap masalah tersebut, yaitu menjaga akuntabilitas publik, sebagai manfaat nyata Akreditasi bagi masyarakat dan pemerintah.
Kampus Ramai Belum Tentu Bermutu
Mutu suatu program studi, secara sederhana, bisa disejajarkan dengan bagaimana kampus tersebut membentuk lulusan yang berkompetensi sesuai janjinya. Sejatinya, kampus yang bermutu tinggi akan diminati publik.
Pada praktiknya, banyak orang tua memilih kampus untuk anaknya berdasarkan nama besar, lokasi, atau sekadar testimoni dari tetangga. Sehingga, ramainya animo belum tentu menjadi tolok ukur bahwa suatu program studi benar-benar berkualitas dan relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan di masa depan. Oleh sebab itu, harus ada tolok ukur mutu yang jelas.
Kenyataannya, belum semua program studi di Indonesia dikelola dengan standar mutu yang kuat. Ada yang fasilitasnya minim, kurikulumnya ketinggalan zaman, atau dosennya tidak memiliki kualifikasi dan pengalaman yang memadai. Akibatnya, lulusannya tidak siap menghadapi persaingan dunia kerja yang makin kompleks dan digital.