Di tengah derasnya arus digitalisasi dan perubahan dunia kerja, muncul satu pertanyaan yang menggema di ruang-ruang rekrutmen, media sosial, dan forum HR:
Benarkah Gen Z defisit life skill sehingga banyak perusahaan enggan merekrut mereka?
Pertanyaan ini bukan sekadar retorika. Ia menyentuh jantung dari ketegangan generasional yang kini dirasakan di banyak tempat kerja: antara generasi yang dibesarkan oleh proses panjang dan generasi yang tumbuh dalam ekosistem instan.
Digital Parent dan Pola Asuh Layar
Gen Z adalah generasi pertama yang benar-benar dibesarkan oleh aplikasi digital. Interaksi sosial mereka lebih banyak terjadi lewat layar chat, media sosial, game online daripada tatap muka. Akibatnya, keterampilan seperti:
- Membaca ekspresi tubuh
- Menyelesaikan konflik secara langsung
- Berkomunikasi lisan dengan percaya diri
...sering kali kurang terlatih. Mereka lebih nyaman mengirim pesan teks daripada menelepon atau berbicara langsung. Ini bukan kelemahan, tapi hasil dari pola asuh digital yang sistemik.
Serba Instan, Serba Gagap?
Layanan seperti Grab, ShopeeFood, TikTok Shop, dan tutorial YouTube telah membentuk pola konsumsi instan. Gen Z terbiasa dengan solusi cepat, sehingga:
- Lebih memilih delivery daripada belajar masak sederhana;
- Mengandalkan tutorial instan daripada proses belajar bertahap;
- Gagap menghadapi masalah praktis yang butuh improvisasi dan kesabaran.
Gaya hidup instan Gen Z, Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Generative AI
Di dunia kerja, ini bisa terlihat sebagai "kurang mandiri" atau "tidak tahan tekanan", padahal mereka hanya belum diberi ruang untuk berlatih secara nyata.
Sugar Coating: Soft Skill atau Strategi Bertahan?