Tidak pernah terfikirkan untuk tinggal dan berada di Jogja selama hampir tiga tahun. Apalagi rasanya, tiga tahun tersebut seperti baru beberapa hari kemarin yang berlalu. Ternyata kota ini telah menjadi saksi dari sebagian perjalanan hidup penulis, dimana setiap tempat dikota ini memberi banyak pengalaman dan pembelajaran.
Sebagai seorang anak rantau yang berasal dari salah satu desa di Sulawesi Tengah, saat di Jogja penulis bertemu dengan teman-teman baru. Mereka adalah warga asli Jogja namun sebagian besar adalah teman-teman perantau dari hampir seluruh wilayah Indonesia bahkan beberapa teman berasal dari luar negeri, kebanyakan dari Amerika, Australia dan Eropa. Mereka sebagian besar sedang studi dan bekerja di Jogja.
Sepertinya memang tidak keliru kalau Jogja disebut sebagai kota pelajar. Banyak orang dari berbagai daerah datang menuntut ilmu dikota ini. Ditambah sejauh pengalaman penulis, kemudahan untuk mendapatkan fasilitas bahan bacaan berupa buku dengan harga yang murah sangat mudah diakses dikota ini. Tak heran, selama tinggal di Jogja sebagian ruangan kamar penulis hampir dipenuhi dengan buku-buku yang selalu dibeli oleh penulis setiap bulannya.
Ada yang bilang harga makanan dan biaya hidup di Jogja itu serba murah dan  sejauh pengalaman penulis ini bisa dibilang benar. Hanya dengan uang simpanan Rp. 200.000, penulis bisa mengolah itu untuk kebutuhan makan selama semingguan lebih dengan lauk tempe, tahu, daging ayam, telur, sayuran, buah-buahan bahkan beberapa jajanan pasar.
Tapi ada satu hal yang menyedihkan bagi penulis, dibalik murahnya harga makanan dan biaya hidup di Jogja, ternyata ada masyarakat yang menderita. Penderitaan itu terlihat jelas dengan besaran gaji UMR Jogja ditahun 2025 adalah Rp. 2.264.080, cukup miris sih dan salah satu akibatnya beberapa warga asli Jogja tidak bisa  menabung untuk membeli tanah dan membangun rumah mereka sendiri, malahan para investor diluar Jogja yang bisa membeli tanah. Tapi satu hal yang penulis salut dari warga Jogja saat ditanyai apakah mereka akan protes ke pemerintah? Jawabannya selalu sama; "tidak mas, bersyukur kami masih bisa hidup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari." Kesabaran warga Jogja patut diacungi jempol menurut penulis.
Selain biaya hidup di Jogja murah, banyak yang bilang orang Jogja itu terkenal ramah-ramah dan murah senyum. Awalnya penulis tidak percaya, tapi ternyata itu menjadi salah satu shockculture yang dialami oleh penulis ketika tinggal di Jogja. Bagaimana tidak, penulis adalah orang yang selalu memiliki perasaan waspada dan sulit tersenyum ketika bertemu orang baru, pada akhirnya harus berusaha untuk membiasakan diri membalas senyuman dari setiap orang yang ditemui, sampai-sampai penulis selalu berbicara sendiri di dalam hati; "capek banget ya Tuhan senyum terus, tidak ada habis-habisnya...".
Selain biaya hidup murah dan orang-orangnya ramah, di Jogja juga banyak kuliner yang bisa dinikmati. Penulis jadi teringat ketika pertama kali datang ke Jogja, penulis sedikit kaget karena mendapati rasa makanan di Jogja cenderung manis, agak berbeda dari masakan di Sulawesi yang cenderung pedas dan gurih. Salah satu kuliner khas Jogja namanya gudeg yaitu sejenis makanan yang terbuat dari buah nangka muda yang dimasak dengan santan, gula merah, dan rempah-rempah selama berjam-jam hingga empuk dan berwarna coklat kemerahan. Penulis pertama kali menikmati masakan ini saat diajak ke restoran oleh seorang dosen yang sedang studi di Jogja. Jujur untuk rasanya tidak terlalu cocok dengan lidah penulis yang sudah terbiasa dengan rasa pedas dan gurih, tapi mungkin cocok untuk orang lain.