Musamus dan Malam yang Tak Bisa Tidur
Langit di atas Kampung Musamus malam itu terbuka seperti hati yang disayat angin. Tak ada awan, hanya taburan bintang yang menggigil di cakrawala, seperti mata-mata kecil yang menyaksikan dunia dari kejauhan. Burung alap-alap melintas senyap, bayangannya menyapu pucuk palem yang bergetar perlahan.
Musamus duduk di atas pucuk tertinggi rumah yang mereka bangun bersama, sebuah menara kecil dari lumpur, rumput rawa, dan air liur cinta. Dari situ, ia bisa melihat hamparan dunia yang mereka perjuangkan. Rumah-rumah semut menjalar seperti syair yang ditulis di tanah basah. Hening. Teratur. Damai.
Tapi hatinya tidak damai.
"Aku tak bisa tidur malam ini," gumamnya pada dirinya sendiri, memandangi cahaya samar yang memantul di permukaan kolam tempat belut dan udang bermain dalam diam. "Mengapa hatiku tetap gelisah, bahkan ketika menara ini telah selesai dibangun?"
Langkah ringan mendekat dari balik bayang-bayang. Itu Rangga, semut muda yang selalu hadir saat Musamus paling membutuhkan. "Apakah kau sedang bicara dengan malam, Tuan?" tanyanya lembut, setengah bercanda, setengah khawatir.
Musamus tersenyum tipis. "Malam mendengarkan lebih baik daripada pagi, Rangga. Ia tidak menyela."
"Lalu apa yang kau bisikkan padanya?"
Musamus menoleh. Matanya tak seterang biasanya. "Aku bertanya... apakah kemajuan ini membuat kita benar-benar lebih dekat satu sama lain? Atau justru membuat kita sendirian di puncak?"
Rangga terdiam. Ia menatap menara kecil yang menjulang dari rumah mereka. Dari luar, bangunan itu tampak kokoh dan megah, dibuat dari kerja tanpa pamrih, dari lumpur dan rumput yang disusun sabar, dari serpihan kayu mati dan dedaunan kering yang diolah menjadi pelindung dari hujan dan angin. Tapi dari dalam, ada ruang kosong yang tak bisa diisi dengan lumpur ataupun air liur.