Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 77-78

3 Oktober 2025   04:15 Diperbarui: 2 Oktober 2025   19:01 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

Musamus dan Malam yang Tak Bisa Tidur

Langit di atas Kampung Musamus malam itu terbuka seperti hati yang disayat angin. Tak ada awan, hanya taburan bintang yang menggigil di cakrawala, seperti mata-mata kecil yang menyaksikan dunia dari kejauhan. Burung alap-alap melintas senyap, bayangannya menyapu pucuk palem yang bergetar perlahan.

Musamus duduk di atas pucuk tertinggi rumah yang mereka bangun bersama, sebuah menara kecil dari lumpur, rumput rawa, dan air liur cinta. Dari situ, ia bisa melihat hamparan dunia yang mereka perjuangkan. Rumah-rumah semut menjalar seperti syair yang ditulis di tanah basah. Hening. Teratur. Damai.

Tapi hatinya tidak damai.

"Aku tak bisa tidur malam ini," gumamnya pada dirinya sendiri, memandangi cahaya samar yang memantul di permukaan kolam tempat belut dan udang bermain dalam diam. "Mengapa hatiku tetap gelisah, bahkan ketika menara ini telah selesai dibangun?"

Langkah ringan mendekat dari balik bayang-bayang. Itu Rangga, semut muda yang selalu hadir saat Musamus paling membutuhkan. "Apakah kau sedang bicara dengan malam, Tuan?" tanyanya lembut, setengah bercanda, setengah khawatir.

Musamus tersenyum tipis. "Malam mendengarkan lebih baik daripada pagi, Rangga. Ia tidak menyela."

"Lalu apa yang kau bisikkan padanya?"

Musamus menoleh. Matanya tak seterang biasanya. "Aku bertanya... apakah kemajuan ini membuat kita benar-benar lebih dekat satu sama lain? Atau justru membuat kita sendirian di puncak?"

Rangga terdiam. Ia menatap menara kecil yang menjulang dari rumah mereka. Dari luar, bangunan itu tampak kokoh dan megah, dibuat dari kerja tanpa pamrih, dari lumpur dan rumput yang disusun sabar, dari serpihan kayu mati dan dedaunan kering yang diolah menjadi pelindung dari hujan dan angin. Tapi dari dalam, ada ruang kosong yang tak bisa diisi dengan lumpur ataupun air liur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun