Peran kepemimpinan perempuan dalam Islam masih sering diperdebatkan hingga saat ini. Banyak orang percaya bahwa perempuan lebih baik daripada laki-laki dan dengan alasan ini Perempuan tidak pantas menjadi pemimpin, sementara yang lain menolak hal ini dari sudut pandang gender. Banyak orang juga mendengar pernyataan tentang laki-laki sebagai pemimpin perempuan dalam Al-Qur'an. Dalam budaya patriarki perempuan dipandang sebagai sosok yang sangat lemah dan tidak berguna, dan doktrin ini terus membuat perempuan tidak berdaya.Topik kepemimpinan inilah yang menjadi topik yang sangat penting dan strategis karena menentukan keluarga, masyarakat, dan bangsa (Faizal, 2016).
Potensi dasar perempuan sebagai makhluk beragama, pribadi, sosial dan budaya pada dasarnya tidak ada perbedaan dengan laki-laki. Studi tersebut menampakkan bahwa kemampuan dasar yang mendasari kedua tipe tersebut (laki-laki & perempuan) tidak ada perbedaan yang signifikan. Faktanya, beberapa studi menunjukkan perempuan lebih mampu memenuhi peran ganda, selain mengembangkan kualitas keibuan seperti mengandung, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak. Hal ini tampaknya memiliki beberapa keuntungan unik. Perempuan mempunyai potensi mendasar untuk lebih tangguh, lebih rela berkorban, lebih menerima penderitaan, lebih gigih, lebih sabar dibandingkan laki-laki (Hamka,2012).
Studi menemukan bahwa pada umumnya perempuan adalah seorang yang pekerja keras dan hemat, itulah sebabnya mereka diberi kepercayaan untuk menduduki posisi penting tertentu. Namun pada kenyataannya, mengapa masih banyak perempuan yang terpinggirkan, tersubordinasi, putus asa, merasa tidak berdaya, bahkan dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam bidang politik, proses pengambilan keputusan, dan pengambilan kebijakan publik? Perempuan bisa menjadi pemimpin berdasarkan asumsi bahwa mereka mempunyai keahlian kepemimpinan. Perempuan tidak hanya dapat menduduki tingkat yang lebih rendah, tetapi perempuan juga dapat menduduki jabatan publik tertinggi dan menjadi kepala negara. Perempuan bisa memimpin sebuah negara jika mereka memiliki sifat profesional atau kompeten dalam kepemimpinan (Hamka, 2012).
Tantangan yang dihadapi perempuan dalam posisi kepemimpinan mencakup masalah-masalah seperti pendidikan, keadilan dan kesetaraan gender, peran rumah tangga, budaya patriarki, agama, pekerjaan, dan hubungan keluarga. Ini semua adalah berbagai masalah yang sering kali dihadapi oleh perempuan dalam bidang kehidupan sosial.Oleh karena itu, sering nampak banyak perempuan yang enggan terlibat dalam urusan kepartaian, dan beberapa kendala lain yang sering muncul di sejumlah partai politik adalah diskriminasi hingga ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Dalam masyarakat modern, perempuan dapat menjadi kepala negara karena memiliki keahlian dan kemampuan memimpin suatu bangsa (Hamka, 2012). Pada kesimpulannya tidak hanya laki-laki yang memiliki kualitas untuk berperan sebagai seprang pemimpin, namun perempuan juga mampu berpera sebagai pemimpin yang sukses. kepemimpinan seorang perempuan merupakan realitas nyata dan keberhasilannya tidak lepas dari peran laki-laki. Meyakini dan memulai membangun persepsi baru tentang kepemimpinan perempuan menjadi hal yang penting (Hartono, 2021).
ReferensiFaizal, L. (2016). Perempuan Dalam Politik (Kepemimpinan Perempuan Perspektif Al-Qur'an). Jurnal TAPIs, 12(1), 93-94Hamka, H. (2012). Kepemimpinan Perempuan Dalam Era Modern. Jurnal Al-Qalam, 19(1), 107-114Hartono, R. (2021). Kepemimpinan Perempuan di Era Globalisasi. JUPANK (Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan), 1(1), 83&97
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI