Jakarta pagi itu agak mendung. Tapi suara Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta, terdengar tegas. Tidak ada keraguan."Deklarasi PBB hanya simbol kalau tidak ada implementasi," katanya.
Kalimat itu sederhana. Tapi dalam politik internasional, sederhana sering berarti rumit.
Indonesia sudah puluhan tahun konsisten mendukung Palestina. Dari zaman Soekarno, Soeharto, Gus Dur, hingga hari ini. Narasinya selalu sama: kemerdekaan Palestina adalah amanat konstitusi. Tapi pertanyaan yang selalu kembali: apa hasilnya?
Ada hal baru pekan ini. Hamas---kelompok yang selama ini identik dengan penolakan---tiba-tiba membuka pintu. Mereka berkata siap menerima solusi dua negara. Dengan syarat: gencatan senjata permanen, blokade dihentikan, tahanan dipertukarkan, Israel mundur dari Gaza.
Tentu syarat itu tidak sederhana. Tapi ada makna besar di dalamnya: pintu diplomasi tidak lagi terkunci rapat.
Dunia internasional, kata Sukamta, tidak bisa pura-pura buta. Ketika yang paling keras sudah mulai melunak, seharusnya PBB dan negara-negara besar segera bergerak.
Ada juga angka-angka yang membuat situasi ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kini, 159 negara sudah resmi mengakui Palestina. Itu lebih dari tiga perempat anggota PBB.
Artinya, Palestina tidak lagi bicara sendirian.
Bahkan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, ikut mengajukan tawaran: mengirim pasukan perdamaian Indonesia di bawah mandat PBB. Sebuah tawaran yang mengingatkan kita pada sejarah panjang Garuda di Kongo, Lebanon, Sudan.
Sederhana tapi serius: pasukan perdamaian.
Tentu jalan ke sana tidak mulus. Amerika Serikat masih jadi benteng Israel di Dewan Keamanan. Resolusi apa pun bisa diveto. Uni Eropa pun belum satu suara.
Tapi momentum ini terasa berbeda. Ada udara yang lain.
Deklarasi PBB, pengakuan negara-negara, Hamas yang melunak, dan tawaran Indonesia.