Oleh Rizka Adiatmadja
(Praktisi Parenting & Penulis Buku)
Ada masa ketika suara muda dianggap bahaya. Langkah idealisme dipersempit dan teriakan perubahan dijawab dengan jeruji. Kita menyaksikan generasi yang tumbuh dalam era keterbukaan digital, tetapi malah dibungkam saat mencoba memahami negaranya sendiri. Bukankah semangat ingin tahu dan menuntut keadilan adalah tanda kehidupan bangsa?
Sejak Agustus 2025, publik dikejutkan oleh penetapan 295 anak sebagai tersangka dalam rangkaian demonstrasi di berbagai daerah Indonesia.(Tempo.com, 29 September 2025). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai proses hukum terhadap ratusan anak itu tidak memenuhi standar perlindungan anak sebagaimana diatur dalam undang-undang. (Kompas.com, 26 September 2025)
Â
Sementara, Komnas HAM mengingatkan adanya potensi pelanggaran HAM karena proses pemeriksaan disertai ancaman dan intimidasi. (Kompas.com, 26 September 2025). Jumlah tersebut bukan sekadar data hukum, di baliknya ada keluarga yang cemas, sekolah yang kehilangan murid, dan masa depan yang terancam hanya karena anak-anak muda berani bersuara.
Cedera di Balik Kesadaran Politik Gen Z
Fenomena ini memperlihatkan satu hal bahwa kesadaran politik Gen Z mulai tumbuh. Mereka bukan sekadar "generasi rebahan" sebagaimana stereotip yang sering dilabelkan, tetapi sesungguhnya mereka melek isu sosial, peduli terhadap ketimpangan, dan berani menuntut perubahan. Sayangnya, kesadaran itu justru dianggap ancaman. Label anarkis dan perusuh dengan cepat disematkan, seolah semua aspirasi kritis adalah bentuk pemberontakan.
Padahal, dalam sejarah bangsa mana pun, perubahan selalu dimulai dari suara muda. Ketika generasi baru bangkit menolak ketidakadilan, di situlah peradaban diuji, apakah ia masih punya ruang bagi kebenaran atau hanya untuk kekuasaan?
Kesadaran politik di kalangan Gen Z bukanlah bentuk perlawanan tanpa arah, tetapi jeritan nurani yang lahir dari kekecewaan melihat ketimpangan yang terus diwariskan. Mereka tumbuh dalam era keterbukaan informasi, menyaksikan bagaimana kekuasaan sering kali timpang dalam berpihak, dan bagaimana janji keadilan kerap berujung formalitas. Maka, ketika mereka turun ke jalan atau bersuara di ruang digital, sejatinya mereka sedang menagih tanggung jawab negara yang selama ini abai terhadap amanat kesejahteraan dan keadilan sosial.
Demokrasi yang Semakin Menyempit
Sistem demokrasi yang digadang-gadang menjamin kebebasan berekspresi kini justru memperlihatkan paradoks. Demokrasi kapitalistik memberi ruang bagi suara yang sejalan, tetapi menyingkirkan yang mengancam kepentingan ekonomi dan politik penguasa. Media dikendalikan oleh korporasi besar, narasi publik dikurasi oleh algoritma, dan kritik rakyat kerap dipelintir menjadi ancaman stabilitas.
Kriminalisasi terhadap kesadaran politik generasi muda sejatinya menunjukkan kegagalan demokrasi dalam mengelola perbedaan. Alih-alih mendidik mereka menjadi warga yang matang secara politik, negara justru menakuti mereka agar apatis. Padahal, di pundak generasi ini masa depan bangsa bergantung.
Demokrasi yang menua dalam kepentingan sering kali kehilangan nuraninya. Ia sibuk menjaga citra, tetapi abai pada suara yang lahir dari kejujuran rakyat. Ketika kritik dibungkam dan perbedaan dianggap ancaman, maka yang tersisa hanyalah panggung retorika tanpa makna. Demokrasi seharusnya menjadi ruang tumbuh bagi kesadaran publik, bukan kandang yang membatasi akal dan nurani generasi muda yang haus akan keadilan.