Sekolah seharusnya menjadi lingkungan yang aman dan mendukung bagi perkembangan peserta didik, baik secara akademis maupun psikososial. Dalam konteks ini, peran guru Bimbingan dan Konseling (BK) sangat penting sebagai pendamping siswa dalam menghadapi berbagai tantangan perkembangan, tekanan sosial, hingga konflik personal. Namun, ironisnya, masih ditemukan praktik-praktik yang menyimpang dari kode etik profesi, bahkan dilakukan oleh tenaga pendidik atau konselor itu sendiri. Kode etik profesi BK berfungsi sebagai pedoman moral dan profesional bagi konselor dalam menjalankan tugasnya. Pelanggaran terhadap kode etik ini, seperti melakukan kekerasan fisik atau psikologis terhadap konseli, tidak hanya mencoreng nama baik institusi pendidikan tetapi juga merusak kepercayaan siswa terhadap sistem pendampingan psikologis yang disediakan sekolah.
Menurut Nuzliah dan Siswanto (2019), pelanggaran terhadap kode etik profesi BK dapat dikenai sanksi mulai dari teguran lisan hingga pencabutan lisensi praktik, tergantung pada tingkat pelanggaran yang dilakukan. Hal ini menunjukkan pentingnya penerapan kode etik secara konsisten untuk menjaga integritas dan profesionalisme dalam layanan BK. Selanjutnya, Nurhayati (2024) menekankan bahwa pelatihan etis yang berkelanjutan, supervisi yang ketat, dan refleksi diri merupakan langkah-langkah efektif dalam mencegah pelanggaran kode etik dalam praktik BK. Dengan demikian, upaya preventif dan penegakan kode etik secara tegas menjadi kunci dalam menjaga kualitas layanan BK di sekolah.
Melalui studi kasus yang berfokus pada kekerasan fisik dan psikologis di lingkungan pendidikan, artikel ini bertujuan untuk menganalisis bentuk-bentuk pelanggaran etika yang terjadi, faktor penyebabnya, serta dampak yang ditimbulkan. Penelitian ini diharapkan tidak hanya memberikan kontribusi terhadap pengembangan literatur akademik di bidang pendidikan dan konseling, tetapi juga menjadi bahan refleksi sekaligus peringatan bagi para praktisi untuk senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam menjalankan profesinya.
Kasus 1 : Guru Bimbingan Konseling Ini Pukul Murid SMA 11 Kupang Hingga Berdarah
Pada pertengahan November 2017 seorang murid berinisial CY ditampar oleh Guru BK di sekolahnya yang berinisial ARM saat CY keluar dari toilet ketika upacara bendera sedang berlangsung. Awalnya CY tidak memberitahu orang tuanya mengenai masalah ini akan tetapi, sejak ditampar telinga CY terasa sakit dan berdengung lalu beberapa hari kemudian ketika CY berada di rumah temannya, telinganya mengeluarkan darah. Akhirnya CY menceritakan hal ini kepada ibunya, dan kasus ini dilaporkan ke Polisi. CY ditemani ayahnya yang berinisial POL mendatangi LBH APIK NTT bersama pendamping PPA Eagle CS untuk meminta pendampingan hukum dan fasilitasi kasus yang menimpanya itu. CY juga didampingi tim PPA Eagle Cs, yakni Maya, Deni, Noldy dan Wadi. Di LBH APIK NTT, CY dan POL diterima oleh Direktur LBH APIK NTT, Ansi D Rihi Dara, SH, Pengacara LBH APIK NTT, Easter Day, SH. Di sana juga hadir pelaku, ARM, dan pihak sekolah.
Berdasarkan deskripsi kasus di atas, terlihat bahwa guru Bimbingan dan Konseling telah melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap siswanya, yang bertentangan dengan peran dan fungsi utama seorang konselor sebagai pendamping dan pelindung psikologis peserta didik. Tindakan ini tidak hanya mencederai fisik siswa, tetapi juga merusak aspek psikologis dan hubungan kepercayaan yang seharusnya dibangun antara konselor dan konseli. Sejalan dengan pendapat Amarisa et al. (2023), perilaku kekerasan fisik yang dilakukan oleh pendidik, terlebih oleh seorang guru BK, termasuk dalam kategori pelanggaran berat terhadap kode etik profesi. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksiapan atau ketidaktahuan yang mendalam mengenai prinsip-prinsip dasar etika profesi, terutama dalam hal menjaga keselamatan, menghormati martabat, dan melindungi hak-hak siswa.
Dalam kasus yang melibatkan CY dan guru BK berinisial ARM, terdapat beberapa pelanggaran Kode Etik ABKIN:
1. Pelanggaran terhadap harkat dan martabat dan hak asasi konseli.
Yang berisi "konselor menghargai harkat dan martabat individu dan menjunjung tinggi hak asasi manusia". Jadi, pada pasal tersebut menunjukkan bahwa ARM atau guru BK dari SMA 11 Kupang itu merupakan suatu tindakan yang cukup melanggar terhadap prinsip penghormatan akan martabat pada seorang siswa.
2. Pelanggaran terhadap non kekerasan (pelanggaran terhadap konseli).