Interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik yang terjadi ketika ada aksi dan reaksi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, bisa individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok lainnya. Interaksi sosial mencakup kontak sosial dan komunikasi. Setiap orang melakukan interaksi sosial dengan tujuan yang berbeda-beda, bisa jadi karena ingin mencapai tujuan yang sama, pencampuran budaya, persaingan atau mengkompromi untuk menyelesaikan suatu masalah. Dalam interaksi sosial pastinya melibatkan komunikasi, salah satunya dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling efisien di kehidupan sehari-hari, bahasa dapat menyampaikan isi pikiran, perasaan, ide dan apapun yang ingin kita sampaikan kepada lawan bicara. Noermanzah (dalam Kampret Journal, 2017:2) menjelaskan bahwa Bahasa adalah suatu pesan yang biasanya disampaikan dalam bentuk ekspresi sebagai alat komunikasi dalam berbagai kegiatan tertentu.
Pernahkah kita berpikir bahwa kemanapun kita pergi, orang-orang belum tentu mengenali asal-usul kita hanya dari wajah atau penampilan fisik? Dalam banyak situasi, yang justru menjadi penanda identitas kita adalah bahasa yang kita gunakan. Bahasa sehari-hari yang keluar dari mulut kita sering kali menjadi pembeda yang paling jelas di tengah keragaman masyarakat. Bahkan, melalui ungkapan sederhana seperti "selamat pagi", orang lain bisa langsung menebak dari mana kita berasal. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa merupakan bagian dari diri yang terus kita bawa kemanapun kita pergi, dan tanpanya, kita seolah kehilangan jati diri. Lebih dari sekadar alat komunikasi, bahasa menjadi identitas sosial yang melekat pada setiap individu. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menggunakan bahasa secara bijak dan mencerminkan nilai-nilai kesopanan, kebudayaan, serta kebangsaan dalam setiap interaksi, baik secara langsung maupun di dunia digital.
Sudarti (dalam Jurnal Untirta, 2019:9) menyatakan bahwa setiap makhluk hidup memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap lingkungan sekitarnya. Beradaptasi adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat ia hidup dan menetap. Proses ini melibatkan tindakan sadar dan aktif, di mana individu secara sengaja memilih serta menentukan langkah sebagai bentuk penyesuaian diri. Kemampuan ini tidak hanya penting untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk kita berkembang di lingkungan yang terus menerus berubah.
Putra (dalam Jurnal Untirta, 2016:16)Pada hakikatnya, seluruh bentuk tingkah laku manusia adalah wujud adaptasi atau reaksi terhadap kondisi lingkungan demi kelangsungan hidup. Salah satu bentuk adaptasi adalah adaptasi sosial, yaitu kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang memiliki situasi dan kondisi berbeda dari lingkungan asalnya. Adaptasi sosial dapat meliputi penyesuaian terhadap kehidupan sosial, bahasa, dan budaya yang berlaku di lingkungan baru, sehingga individu mampu berinteraksi dan menjadi bagian dari masyarakat di sekitarnya.
Perkembangan teknologi dan media sosial di era digital telah membawa perubahan besar dalam cara manusia berkomunikasi. Batas geografis yang dahulu membatasi interaksi kini hampir hilang berkat internet, memungkinkan orang dari berbagai belahan dunia berhubungan dengan cepat. Kondisi ini mendorong penggunaan bahasa global seperti bahasa Inggris yang memang mempermudah akses informasi dan jejaring internasional, tetapi di sisi lain dapat menggeser peran bahasa lokal. Dyahmustikaa (2024) di Indonesia, fenomena ini tampak jelas ketika istilah-istilah asing lebih sering digunakan dibandingkan padanan dalam bahasa Indonesia, contohnya seperti "mental health", "noted", atau "trending". Penggunaan istilah asing yang berlebihan berpotensi mengikis identitas nasional. Bahasa sebenarnya tidak hanya sekadar alat tukar informasi, melainkan juga cerminan jati diri, pembentuk opini publik, dan perekat sosial masyarakat. Sayangnya, media sosial juga memunculkan bentuk bahasa baru yang kreatif tetapi kerap mengabaikan kaidah tata bahasa, sehingga mengancam kemampuan literasi formal.
Dyahmustikaa (2024) menyebut bahwa platform media sosial seperti Instagram, Tiktok, dan X telah menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru yang lebih inovatif, fleksibel dan ringkas. Istilah seperti "FOMO", "YOLO", dan "OOTD" dibuat oleh Gen Z untuk mengekspresikan kehidupan sosial dan budaya mereka. Sementara itu, bahasa daerah menghadapi ancaman kepunahan karena semakin sedikitnya penutur. Meski begitu, peluang untuk melestarikannya tetap terbuka lebar jika pemanfaatan teknologi dilakukan dengan tepat, misalnya melalui produksi konten kreatif berbasis bahasa daerah di platform daring untuk menarik minat generasi muda.
Rahmah (2024) menjelaskan salah satu aspek yang tidak boleh diabaikan dalam penggunaan bahasa adalah etika berbahasa. Etika berbahasa berkaitan dengan bagaimana kita menggunakan bahasa secara sopan, tepat, dan sesuai dengan norma yang berlaku. Pada masa kini, banyak individu yang menyebarkan kebencian serta melanggar etika berbahasa dengan bersembunyi di balik akun palsu atau identitas yang dipalsukan. Mereka merasa bebas melakukan apapun karena meyakini identitasnya tidak akan diketahui. Fenomena ini kerap ditemui di media sosial, mengingat pemalsuan identitas kini dapat dilakukan dengan sangat mudah. Ujaran kebencian dan penyebaran berita palsu yang dilakukan dalam kondisi tersebut dapat memperburuk suatu permasalahan dan memicu timbulnya konflik baru. Oleh karena itu, menjaga etika berbahasa menjadi kunci untuk mencegah kesalahpahaman yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, kita perlu menerapkannya di semua aspek kehidupan, baik dalam komunikasi formal maupun informal, termasuk dalam interaksi secara langsung.
Bahasa, sejak dahulu hingga kini, selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bahasa, bukan cuman alat komunikasi, tetapi juga identitas suatu bangsa, ikatan persatuan, serta wadah untuk menyampaikan pendapat, emosi dan budaya. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, bahasa telah memainkan peran penting dalam menyatukan keberagaman suku, budaya dan latar belakang menjadi satu kesatuan. Di era modern yang serba cepat ini, bahasa bahkan berfungsi sebagai alat adaptasi yang dimana memungkinkan kita untuk menyesuaikan diri di berbagai situasi yang kita hadapi, baik di lingkungan nyata maupun dunia digital.
Namun, dengan perkembangan zaman yang semakin cepat membawa tantangan baru. Arus globalisasi, tren media sosial, dan masuknya kosakata asing secara masif sering kali mempengaruhi kemurnian bahasa. Meski perubahan adalah hal yang wajar, kita sebagai masyarakat Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kualitas Bahasa Indonesia agar tidak kehilangan nilai, makna, dan karakternya. Oleh karena itu diperlukan kesadaran bersama untuk menggunakannya secara bijak, santun dan sesuai kaidah, baik dalam percakapan sehari-hari maupun saat berinteraksi di media digital.
Mari kita jaga dan kembangkan bahasa yang kita miliki, menggunakannya bukan hanya sekedar sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai cerminan kecerdasan, sikap saling menghargai, dan rasa cinta pada budaya sendiri. Dengan begitu, Bahasa Indonesia akan terus hidup, berkembang dan menjadi warisan berharga bagi generasi yang akan datang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI