Mengapa pejabat kita perlu membaca buku? Pertanyaan ini terasa semakin mendesak di tengah derasnya arus informasi dan tuntutan kompleksitas negara.Â
Namun, pertanyaan ini mencuat bukan dari hasil riset mendalam, melainkan dari pengamatan sederhana di media sosial.Â
Di sana, kita menyaksikan parade kemewahan seperti mobil mewah, tas bermerek, jam tangan mahal, dan perjalanan ke luar negeri. Semua dipamerkan, disukai, dan diulas.
Ironisnya, di tengah semua pameran itu, satu hal yang hampir tidak pernah terlihat adalah buku. Pejabat kita sangat jarang bahkan bisa dibilang hampir tak pernah memamerkan tumpukan buku yang sedang mereka baca.Â
Mereka tidak pernah menyerukan budaya literasi atau sekadar memberi contoh bahwa membaca adalah kebiasaan harian mereka.
Fenomena ini kontras sekali dengan tuntutan jabatan mereka. Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang harus mengambil keputusan miliaran rupiah, yang berdampak pada jutaan nyawa, tidak menjalin persahabatan dengan sumber gagasan dan data terbaik, yaitu buku?Â
Inilah yang membuat kita pantas menyebut kondisi saat ini sebagai fenomena darurat baca pejabat. Pejabat kita berada jauh dari buku, jauh dari budaya literasi.
Dalam konteks relasi pejabat dengan buku, kita bisa mengategorikan mereka ke dalam tiga "kasta" berdasarkan istilah asing yang dikenal dalam dunia literasi.Â
Pembagian kasta ini bukan soal kekayaan, melainkan soal kedekatan mereka dengan ilmu dan wawasan.
Kasta Pertama: The Bibliophile (Sahabat Sejati Ilmu)
Kasta pertama adalah Bibliophile. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yang secara harfiah berarti "pecinta buku." Ini adalah kategori ideal yang sangat kita dambakan dari para pemimpin.